if wanna download, click here >>> doc.
i hope it will be helpful..
and than, I'm ask permission to person that I used the data for the benefit of a college assignment ..
thank you
thank you
please tell me if you've a trouble when you download this data..
Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pengejawantahan dari amanat Undang Undang Dasar 1945 tersebut, khususnya yang berkaitan dengan frasa “memajukan kesejahteraan umum,” pada hakekatnya merupakan tugas semua elemen bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah arahan pemerintah. Tidak terlalu salah jika, mengacu pada definisi tujuan pendirian negara yang mulia tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus dicapai dengan menerapkan prinsip “dari, oleh, dan untuk rakyat.”
Konsep tersebut telah jauh-jauh hari dipikirkan oleh Bung Hatta—wakil presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau, bahkan jauh sebelum Schumacher—yang terkenal dengan bukunya Small is Beautiful, dan Amartya Sen—pemenang Nobel 1998 Bidang Ekonomi, berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan merupakan bentuk perekenomian yang paling tepat bagi bangsa Indonesia (Nugroho, 1997). Orientasi utama dari ekonomi kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan sebagian atau sekelompok kecil orang. Pandangan tersebut lahir, menurut Baswir (2006), jauh sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul “Ekonomi Rakyat” yang diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20 November 1933), mengekspresikan kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah penindasan pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa “kegundahan” hati Bung Hatta atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia—yang waktu itu masih berada di bawah penjajahan Belanda, merupakan cikal bakal dari lahirnya, katakanlah demikian, konsep ekonomi kerakyatan.
PERANAN EKONOMI
KERAKYATAN SEBAGAI LANDASAN PEREKONOMIAN INDONESIA
Abstrak
Ekonomi kerakyatan merupakan kegiatan ekonomi yang dilaksanakan, dinikmati dan diawasi oleh rakyat. Bidang kegiatan ekonomi kerakyatan meliputi sektor informal, UMKM (Usaha Kecil Menengah). Pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi dalam waktu yang terbilang cepat seiring bertambahnya pula jumlah kemiskinan, menggambarkan kondisi ketimpangan hasil pembangunan ekonomi. Peranan ekonomi kerakyatan selain sebagai penampung tenaga kerja juga sebagai sumber pendaptan masyarakat golongan menengah bawah. Berbagai kebutuhan dasar atau kebutuhan pokok mampu dihasilkan oleh sektor pertanian sebagai unit-unit usaha kecil dalam perekonomian Indonesia menggambarkan kegiatan ekonomi rakyat yang selama ini masih belum mampu berkembang secara optimal. Pengembangan usaha kecil yang dipelopori oleh pemerintah dilakukan melalui penciptaan iklim yang sesuai. Pembinaan diarahkan dalam penanganan bidang produksi, pemasaran, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan teknologi
Ekonomi kerakyatan merupakan kegiatan ekonomi yang dilaksanakan, dinikmati dan diawasi oleh rakyat. Bidang kegiatan ekonomi kerakyatan meliputi sektor informal, UMKM (Usaha Kecil Menengah). Pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi dalam waktu yang terbilang cepat seiring bertambahnya pula jumlah kemiskinan, menggambarkan kondisi ketimpangan hasil pembangunan ekonomi. Peranan ekonomi kerakyatan selain sebagai penampung tenaga kerja juga sebagai sumber pendaptan masyarakat golongan menengah bawah. Berbagai kebutuhan dasar atau kebutuhan pokok mampu dihasilkan oleh sektor pertanian sebagai unit-unit usaha kecil dalam perekonomian Indonesia menggambarkan kegiatan ekonomi rakyat yang selama ini masih belum mampu berkembang secara optimal. Pengembangan usaha kecil yang dipelopori oleh pemerintah dilakukan melalui penciptaan iklim yang sesuai. Pembinaan diarahkan dalam penanganan bidang produksi, pemasaran, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan teknologi
BAB I
Pendahuluan
Ekonomi
kerakyatan merupakan tata laksana ekonomi yang bersifat kerakyatan yaitu
penyelenggaraan ekonomi yang memberi dampak kepada kesejahteraan rakyat kecil
dan kemajuan ekonomi rakyat yaitu keseluruhan aktivitas perekonomian yang
dilakukan oleh rakyat kecil. Ekonomi kerakyatan lebih menunjuk pada sila ke-4
Pancasila, yang menekankan pada sifat demokratis sistem ekonomi
Indonesia. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia, produksi tidak hanya
dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya
dibagikan kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata (penjelasan
pasal 33 UUD 1945).
Ekonomi
rakyat memegang kunci kemajuan ekonomi nasional di masa depan, dan sistem
ekonomi Pancasila merupakan aturan main bagi semua perilaku ekonomi di semua
bidang kegiatan ekonomi.
Sistem
ekonomi kerakyatan adalah sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas
kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan
pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat . Dalam ekonomi kerakyatan
ini kemakmuran rakyat lebih diutamakan daripada kemakmuran orang per orang
Ekonomi
Kerakyatan adalah merupakan sebuah sistem perekonomian yang ditujukan
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Ekonomi Kerakyatan
memiliki prinsip bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas azas kekeluargaan,selain itu ekonomi kerakyatan juga
menginginkan kemakmuran rakyat.
Sistem
Ekonomi kerakyatan memiliki fungsi yang kuat dalam membantu masyarakat karena
langsung berhubungan dengan urat nadi kehidupan masyarakat. Sistem ekonomi
kerakyatan perlu lebih diberdayakan agar mampu menjadi salah satu mesin bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat dan sekaligus alat ampuh untuk lebih
memeratakan ‘pembangunan’ sejalan dengan program pengentasan
kemiskinan. System ekonomi kerakyatan di Indonesia memang masih belum
terlaksana dengan baik. Oleh karena itu pemerintah mengupayakan untuk
mendirikan koperasi sebagai wadah dalam memperlancar perekonomian rakyat. Sebenarnya,
ekonomi kerakyatan merupakan symbol dari suatu system yang memiliki dampak
terhadap perilaku ekonomi yang memang masih rendah dan memang layak untuk
mendapatkan prioritas utama penanganan pemerintah. Sebagaimana diketahui,
perbedaan koperasi dari perusahaan perseroan terletak pada diterapkannya
prinsip keterbukaan bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam lapangan
usaha yang dijalankan oleh koperasi untuk turut menjadi anggota koperasi.
Sistem
Ekonomi kerakyatan dapat diperkuat dengan adanya koperasi, dengan adanya
koperasi kegiatan produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri
tidak akan berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas
dari anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Sistem Ekonomi
kerakyatan merupakan usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan
tunai, tetapi dilaksanakan untuk sekedar memperoleh pendapatan bagi pemenuhan
kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang,
papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya
mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan para anggota koperasi.
Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
- Pembebasan
Kemiskinan
Pada umumnya, kemiskinan muncul bersamaan dengan
kebodohan. Ada orang yang miskin karena bodoh dan adapula orang yang bodoh
karena miskin. Maka kedua kondisi tersebut wajib diperangi dengan pencerdasan
bangsa sebagai prioritas.
- Pembebasan Keterbelakangan
Manusia tidak akan bodoh lagi jika dikenalkan dengan
program pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan serta kesehatan
- Kemerdekaan
Hal ini dapat dilaksanakan untuk melepaskan diri dari
ketergantunganterhadap bangsa dan negara lain.
- Penghapusan
mentalitas putus asa
Pesimisme dan kekhawatiran masyarakat akan
perekonomian nasionalharus dicegah dengan jalan prakarsa pemerintah dalam
pembangunannasional terutama lewat penetapan
kesempatan lapangan kerjasebagaimana telah tertuang dalam UUD RI 1945
pasal 27 ayat 2.
- Pembebasan
dari peluang aniaya dalam rangka kewajiban memikulbeban pembangunan
relatif terhadap manfaat yang bisa dipetik
- Pencegahan
dan penanggulangan dampak pembangunan yang terhitungbernilai salah atau
buruk di segenap bagian alam
Selain itu ada 5 hal pokok yang harus diperjuangkan agar sistem ekonomi
kerakyatan tidak menjadi wacana saja, yaitu :
1. Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi
praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya
2. Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme persaingan yang
berkeadilan (fair competition)
3. Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah
daerah
4. Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani
penggarap
5. Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi “ sejati” dalam
berbagai bidan usaha dan kegiatan. Yang perlu dicermati, peningkatan
kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada
paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi.
Koperasi dapat membantu terlaksanya sistem
ekonomi kerakyatan di Indonesia. Apa sebenranya koperasi itu ? Koperasi adalah
badan usaha yang beranggotakan orang atau badan hukum yang berlandaskan pada
asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Jika kita lihat di sistem ekonomi
kerakyatan dan koperasi ada suatu kesaman yaitu berasas kekeluargaan. Oleh
karena itu sistem ekonomi melalui gerakan koperasi dapat dijadikan suatu cara
meralisasikan sistem ekonomi kerakyatan itu sendiri. Tujuan didirikannya
koperasi adalah mensejahterahkan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta membagi tata perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang maju,adil,dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di
koperasi tidak mengenal laba melainkan SHU (Sisa Hasil Usaha). Jadi
para anggota koperasi akan mendapatkan SHU dalam suatu periode tertentu. Sistem
ekonomi kerakyatan melalui gerakan koperasi ini sangat membantu dan
mensejahterahkan keadaan ekonomi anggota koperasi pada khususnya
dan masyarakat pada umumnya. Masyarakat yang kurang mampu di Indonesia sangat
terbantu dengan adanya koperasi. Misalkan adanya koperasi simpan pinjam yang
bunganya sangat rendah dan koperasi yang menjual kebutuhan sehari-hari dengan
harga yang murah. Jadi kesimpulan yang dapat di ambil dalam tulisan ini yaitu
sistem ekonomi kerakyatan melalui gerakan koperasi sangat membantu dan dapat
mensejahtrahkan anggotanya dan masyarakat luas.
Tujuan
utama dalam penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan melalui gerakan koperasi
adalah untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (
sebagaimana telah tercantum dalam sila ke-5 ) melalui peningkatan kemampuan
masyarakat terhadap pengendaliannya roda perekonomian di Indonesia. Apabila
setiap pelaku ekonomi menerapkannya, kemungkinan tersedianya peluang kerja dan
penghidupan yang layak baik dari segi perekonomian bawah dapat diatasi dengan
baik. Adanya jaminan social bagi anggota masyarakat yang membutuhkan terutama
fakir miskin dan anak-anak yang terlantar. Yang lebih penting adalah
terselenggaranya system belajar mengajar bagi setiap anggota masyarakat.
Telah diketahui sebelumnya bahwa
krisis ekonomi yang melanda Indonesia bahkan tentang persoalan globalisasi
dalam perekonomian, membuat pemerintah dan para pihak yang bersangkutan mencari
pengupayaan untuk mengatasi persoalan tersebut. Tidak mudah memang menjalankan
program yang telah di canangkan. Akan tetapi, dengan kehadirannya system
ekonomi kerakyatan di Indonesia memang sedikit membantu dalam mengatasi
permasalahan tersebut. Walaupun penggunaan ungkapan itu dalam realisasinya
cenderung belum terlaksana dengan ungkapan ekonomi rakyat, justru cenderung
dipandang seolah-olah merupakan idealisme baru dalam perekonomian
Indonesia. Ekonomi kerakyatan dalam arti yang lebih luas mencakup
kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima, yang
kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu dan
diperjuangkan melalui koperasi. Peranan koperasi di Indonesia sesungguhnya
untuk mengelola usaha dengan baik, menyejahterakan anggotanya dan sekaligus
berfungsi sebagai kekuatan pengimbang dalam sistem ekonomi kerakyatan di
Indonesia, misalnya telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa
Indonesia. Dengan mendirikan koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai
peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di
daerahnya. Peran koperasi di pedesaan telah menggantikan fungsi bank
konvensional atau syariah sehingga koperasi sering disebut pula sebagai banknya
rakyat karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan
yang sudah diatur oleh pemerintah di Indonesia. Agar tetap bisa mengikuti
perkembangan zaman, koperasi ahrus bisa memberikan sumbangan nyata kepada
pemberdayaan ekonomi rakyat. Dengan begitu, koperasi akan menjadi sokoguru
perekonomian nasional tidak akan mampu untuk bersaing dengan pelaku ekonomi
lain baik pemerintah maupun swasta.
Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pengejawantahan dari amanat Undang Undang Dasar 1945 tersebut, khususnya yang berkaitan dengan frasa “memajukan kesejahteraan umum,” pada hakekatnya merupakan tugas semua elemen bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah arahan pemerintah. Tidak terlalu salah jika, mengacu pada definisi tujuan pendirian negara yang mulia tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus dicapai dengan menerapkan prinsip “dari, oleh, dan untuk rakyat.”
Konsep tersebut telah jauh-jauh hari dipikirkan oleh Bung Hatta—wakil presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau, bahkan jauh sebelum Schumacher—yang terkenal dengan bukunya Small is Beautiful, dan Amartya Sen—pemenang Nobel 1998 Bidang Ekonomi, berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan merupakan bentuk perekenomian yang paling tepat bagi bangsa Indonesia (Nugroho, 1997). Orientasi utama dari ekonomi kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan sebagian atau sekelompok kecil orang. Pandangan tersebut lahir, menurut Baswir (2006), jauh sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul “Ekonomi Rakyat” yang diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20 November 1933), mengekspresikan kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah penindasan pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa “kegundahan” hati Bung Hatta atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia—yang waktu itu masih berada di bawah penjajahan Belanda, merupakan cikal bakal dari lahirnya, katakanlah demikian, konsep ekonomi kerakyatan.
Lebih
jauh, pemikiran mengenai pentingnya perekonomian yang berpihak kepada rakyat
menjadi dasar bagi lahirnya Pasal 27 dan 33 Undang Undang Dasar 1945. Kedua
pasal tersebut kemudian menjadi dasar ertimbangan dilahirkannya Undang Undang
Perkoperasian (UU Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992) dan Undang Undang
Usaha Kecil dan Menengah (UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008). Dengan demikian,
tampak jelas adanya keterkaitan yang erat antara ekonomi kerakyatan dengan
koperasi dan usaha kecil dan menengah.
Bahasan
tentang peran kedua sektor usaha tersebut (koperasi dan usaha kecil dan menengah)
dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan relatif jarang mengemuka. Namun, berkaca
pada keadaan ekonomi saat ini yang sepertinya baik—sebagaimana diindikasikan
oleh tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 6,10 persen—tetapi
dibarengi oleh kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin yang semakinmelebar—sebagaimana
diindikasikan oleh fakta yang menunjukkan bahwa dua persen penduduk terkaya
menguasai asset nasional sebesar 46 persen dan 98 persen penduduk menguasai 54
persen asset nasional (Suryohadadiprojo, 2011), bahasan tentang ekonomi kerakyatan
dan kaitannya keberadaan koperasi dan usaha kecil dan menengah dalam tatanan
ekonomi nasional menjadi relevan.
BAB II
Pembahasan
1.
Definisi Ekonomi Kerakyatan
Dalam Pasal 33 UUD 1945, Ekonomi
Kerakyatan adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi
definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis
kehidupan masyarakat local dalam mempertahan kehidupannnya. Jadi, Ekonomi
kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat,
dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang
dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola
sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang
selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi
sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan
kepentingan masyarakat lainnya. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai
berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan
segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketiga
prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam
sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan
Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi
lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN;
(3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung
didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap
warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5)
memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun
temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten
antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan,
dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan
industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar
tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi
dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi
dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak
mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
Dalam UUD 1945 pasal
33 ayat 1 yang berbunyi, “Perekonomian disusun atas usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan, di sini secara jelas nampak bahwa Indonesia menjadikan asas
kekeluargaan sebagai fondasi dasar perekonomiannya. Kemudian dalam pasal 33
ayat 2 yang berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, dan dilanjutkan pada
pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan di pergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat,” dari bunyinya dapat dilihat bahwa dua pasal ini mengandung
intisari asas itu. Hal ini tercemin dari penguasaan negara akan sumber-sumber
daya alam dan kemudian tindak lanjutnya adalah kembali pada rakyat, secara
tersirat di sini nampak adanya kolektivitas bersama dalam sebuah negara.
Meskipun dalam dua pasal ini tidak terlalu jelas kandungan asas kekeluargaanya,
namun melihat pasal sebelumnya, kedua pasal inipun akan jadi terkait dengan
asas kekeluargaan itu.
Berdasarkan bunyi
kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dapat dirumuskan perihal
substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai
berikut.
a. Partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional.
Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi
nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi
kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh
potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan
keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi
nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang
menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusian.”
b. Partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional.
Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap
anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir
miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34
UUD 1945 yang menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara.” Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin
dan anak-anak terlantar di Indonesia.
c. Kegiatan
pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus
berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota
masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota
masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan
demikian, walau pun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh
para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap
berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. Unsur
ekonomi kerakyatan yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh
anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi
nasional. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material
(material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual
capital) dan modal institusional (institusional capital). Sebagai konsekuensi
logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara
terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis
modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Negara
wajib menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya sebagai
berikut:
Ø Demokratisasi
modal material; negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak
kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua
anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota
masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur
terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara
mereka.
Ø Demokratisasi
modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara
cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi,
penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian
negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh
dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang
menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan
kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi
seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
Ø Demokratisasi
modal institusional; tidak ada keraguan sedikit pun bahwa negara memang wajib
melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul,
dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD
1945, “Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan
anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat
tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik,
tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun
alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk
serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan,
serikat usaha kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk
serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
Kemudian dalam pasal 27 ayat dua
yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.” Makna kekeluargaan di sini lebih jelas di
bandingkan pasal 33 ayat 2 dan 3. Ada hak yang menjembatani antara negara dan
warga negara. Hubungan ini tidak hanya sekedar apa yang harus di lakukan dan
bagaimana memperlakukan. Tetapi ada nilai moral khusus yang menjadikannya
istimewa. Dan nilai moral itu adalah nilai-nilai yang muncul karena rasa
kekeluargaan. Dan hal ini pun tidak jauh beda dengan yang ada dalam pembukaan
UUD, di dalamnya asas kekeluargaan juga muncul secara tersirat.
Mengacu pada pasal-pasal di atas,
asas kekeluargaan dapat digambarkan sebagai sebuah asas yang memiliki substansi
sebagai berikut; kebersamaan, idealis keadilan, persamaan hak, gotong-royong,
menyeluruh, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Menilik dari substansi-substansi itu dapat diketahui bahwa sosialisme telah mengakar ke dalam tubuh perekonomian Indonesia. Ada bagian-bagian aliran sosialisme yang menjadi bagian sistem ekonomi kita. Dan yang perlu di garis bawahi, bagian-bagian aliran sosialisme yang diadopsi itu bukanlah bagian secara keseluruhan, melainkan hanya bagian-bagian yang dianggap sesuai dan baik untuk Indonesia.
Menilik dari substansi-substansi itu dapat diketahui bahwa sosialisme telah mengakar ke dalam tubuh perekonomian Indonesia. Ada bagian-bagian aliran sosialisme yang menjadi bagian sistem ekonomi kita. Dan yang perlu di garis bawahi, bagian-bagian aliran sosialisme yang diadopsi itu bukanlah bagian secara keseluruhan, melainkan hanya bagian-bagian yang dianggap sesuai dan baik untuk Indonesia.
Gagasan
ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi
Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang
termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori
pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa
ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda.
Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai
pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah
tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu.
Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial
ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai
alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi
pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada
manusia pelakunya.
Pembangunan yang berorientasi
kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa konsep, ekonomi kerakyatan
dikembangkan sebagai upaya untuk lebih mengedepankan masyarakat. Dengan kata
lain konsep ekonomi kerakyatan dilakukan sebagai sebuah strategi untuk
membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat.
Menurut Guru Besar, FE UGM ( alm ) Prof. Dr. Mubyarto, sistem Ekonomi
kerakyatan adalah system ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan
rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh – sungguhpada ekonomi rakyat Dalam
praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring (
network ) yang menghubung – hubungkan sentra – sentra inovasi, produksi dan
kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi
informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentara
dan pelaku usaha masyarakat.
Sebagai suatu jejaringan, ekonomi
kerakyatan diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara
mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih
sebagaimana dimiliki oleh lembaga “ lembaga bisnis internasional, Ekonomi
kerakyatan dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik. Ekomomi kerakyatan
sebagai antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis produksi masal
ala Taylorism. Dengan demikian Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan
harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar
dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala ekonomi dan efisien yang akan menjadi
dasar kompetisi bebas menuntut keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni
berbagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat, skala besar kemandirian
ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus
terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan pembeli .
Berkaitan dengan uraian diatas, agar
sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, sejumlah
agenda konkret ekonomi kerakyatan harus segera diangkat kepermukaan. Secara
garis besar ada lima agenda pokok ekonomi kerakyatan yang harus segera
diperjuangkan. Kelima agenda tersebut merupakan inti dari politik ekonomi kerakyatan
dan menjadi titik masuk (entry point) bagi terselenggarakannya sistem ekonomi
kerakyatan dalam jangka panjang. Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran
dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam
segala bentuknya; Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme
; persaingan yang berkeadilan ( fair competition) ; Peningkatan alokasi sumber-sumber
penerimaan negara kepada pemerintah daerah.; Penguasaan dan redistribusi
pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan
pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan.
Yang perlu dicermati peningkatan
kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada
paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi. Artinya, peningkatan
kesejahteraan tak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat, modal asing dan
perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan
yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang
diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat. Strategi
pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan
demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah
pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih
diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat
ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi
manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah
pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka
yang paling miskin dan tertinggal. Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan
politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini
adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak
mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan
politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan ekonomi
rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk
itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi
rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisadimulai dengan pendemokrasian
pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di
tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik
agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.
Pelaku-pelaku Ekonomi dalam Sistem Perekonomian
Indonesia
Setiap negara mempunyai permasalahan ekonomi dan
setiap negara mempunyai cara tersendiri dalam mengatasinya. Ada negara yang
dengan tegas menentukan bahwa pemerintah yang harus mengatasi setiap masalah
ekonomi, dan pemerintahlah pula yang mengatur semua kegiatan ekonomi.
Sebaliknya ada negara yang berpendapat bahwa dalam mengatasi setiap masalah
ekonomi dan mengatur semua kegiatan ekonomi diserahkan pada pihak swasta.
Selain itu ada juga negara yang mencari jalan tengah antara keduanya. Bagaimana
setiap negara menjawab permasalahan-permasalahan ekonomi menunjukkan sistem
ekonomi yang dianutnya. Dalam rangka menjalankan sistem ekonominya, negara akan
membutuhkan pelaku-pelaku ekonomi.
Terdapat tiga pelaku utama yang menjadi kekuatan
sistem perekonomian di Indonesia, yaitu perusahaan negara (pemerintah),
perusahaan swasta, dan koperasi. Ketiga pelaku ekonomi tersebut akan
menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebuah
sistem ekonomi akan berjalan dengan baik jika pelaku-pelakunya dapat saling
bekerja sama dengan baik pula dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian sikap
saling mendukung di antara pelaku ekonomi sangat dibutuhkan dalam rangka
mewujudkan ekonomi kerakyatan.
1. Pemerintah (BUMN)
a. Pemerintah sebagai Pelaku Kegiatan Ekonomi
Peran pemerintah sebagai pelaku kegiatan ekonomi
berarti pemerintah melakukan kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi.
1 ) Kegiatan produksi
Pemerintah dalam menjalankan perannya sebagai pelaku
ekonomi, mendirikan perusahaan negara atau sering dikenal dengan sebutan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2003, BUMN adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
melalui penyertaan secara langsung berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan. BUMN dapat berbentuk Perjan (Perusahaan Jawatan), Perum (Perusahaan
Umum), dan Persero (Perusahaan Perseroan). BUMN memberikan kontribusi yang
positif untuk perekonomian Indonesia. Pada sistem ekonomi kerakyatan, BUMN ikut
berperan dalam menghasilkan barang atau jasa yang diperlukan dalam rangka
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pelaksanaan peran BUMN tersebut
diwujudkan dalam kegiatan usaha hampir di seluruh sektor perekonomian, seperti
sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan,
pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri, dan perdagangan serta
konstruksi. BUMN didirikan pemerintah untuk mengelola cabang-cabang produksi
dan sumber kekayaan alam yang strategis dan menyangkut hajat hidup orang
banyak. Misalnya PT Dirgantara Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara, PT
Kereta Api Indonesia (PT KAI), PT Pos Indonesia, dan lain sebagainya.
Perusahaan-perusahaan tersebut didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat, serta untuk mengendalikan sektor-sektor yang strategis dan
yang kurang menguntungkan.
2 ) Kegiatan konsumsi
Seperti halnya yang telah kalian pelajari pada bab 8
mengenai pelaku-pelaku ekonomi, pemerintah juga berperan sebagai pelaku
konsumsi. Pemerintah juga membutuhkan barang dan jasa untuk menjalankan
tugasnya. Seperti halnya ketika menjalankan tugasnya dalam rangka melayani
masyarakat, yaitu mengadakan pembangunan gedung-gedung sekolah, rumah sakit,
atau jalan raya. Tentunya pemerintah akan membutuhkan bahan-bahan bangunan
seperti semen, pasir, aspal, dan sebagainya. Semua barang-barang tersebut harus
dikonsumsi pemerintah untuk menjalankan tugasnya. Contoh-contoh mengenai
kegiatan konsumsi yang dilakukan pemerintah masih banyak, seperti membeli
barang-barang untuk administrasi pemerintahan, menggaji pegawai-pegawai
pemerintah, dan sebagainya.
3 ) Kegiatan distribusi
Selain kegiatan konsumsi dan produksi, pemerintah juga
melakukan kegiatan distribusi. Kegiatan distribusi yang dilakukan pemerintah
dalam rangka menyalurkan barang-barang yang telah diproduksi oleh
perusahaanperusahaan negara kepada masyarakat. Misalnya pemerintah menyalurkan
sembilan bahan pokok kepada masyarakat-masyarakat miskin melalui BULOG.
Penyaluran sembako kepada masyarakat dimaksudkan untuk membantu masyarakat
miskin memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan distribusi yang dilakukan oleh
pemerintah harus lancar. Apabila kegiatan distribusi tidak lancar akan
memengaruhi banyak faktor seperti terjadinya kelangkaan barang, harga
barang-barang tinggi, dan pemerataan pembangunan kurang berhasil. Oleh karena
itu, peran kegiatan distribusi sangat penting.
b . Pemerintah sebagai Pengatur Kegiatan Ekonomi
Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di bidang
ekonomi tidak hanya berperan sebagai salah satu pelaku ekonomi, akan tetapi
pemerintah juga berperan dalam merencanakan, membimbing, dan mengarahkan
terhadap jalannya roda perekonomian demi tercapainya tujuan
pembangunan nasional.
2. Swasta (BUMS)
BUMS adalah salah satu kekuatan ekonomi di Indonesia.
BUMS merupakan badan usaha yang didirikan dan dimiliki oleh pihak swasta.
Tujuan BUMS adalah untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. BUMS didirikan dalam
rangka ikut mengelola sumber daya alam Indonesia, namun dalam pelaksanaannya
tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah dan UUD 1945. BUMS dalam
melakukan perannya mengandalkan kekuatan pemilikan modal. Perkembangan usaha
BUMS terus didorong pemerintah dengan berbagai kebijaksanaan.
Perusahaan-perusahaan swasta sekarang ini telah
memasuki berbagai sektor kehidupan antara lain di bidang perkebunan,
pertambangan, industri, tekstil, perakitan kendaraan, dan lain-lain. Perusahaan
swasta terdiri atas dua bentuk yaitu perusahaan swasta nasional dan perusahaan
asing.
3. Koperasi
Badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan
hokum koperasi denga melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi,
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
2.
Ciri
Sistem Ekonomi Kerakyatan
Menurut
San Afri Awang, sistem ekonomi kerakyatan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Peranan vital negara (pemerintah).
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, negara memainkan
peranan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Peranan negara
tidak hanya terbatas sebagai pengatur jalannya roda perekonomian. Melalui
pendirian Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak, negara dapat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan
berbagai kegiatan ekonomi tersebut. Tujuannya adalah untuk menjamin agar
kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang
seorang, dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang seorang, sehingga
memungkinkan ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.
b.
Efisiensi ekonomi berdasar atas
keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan. Tidak benar jika dikatakan bahwa
sistem ekonomi kerakyatan cenderung mengabaikan efisiensi dan bersifat
antipasar. Efisiensi dalam sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya dipahami dalam
perspektif jangka pendek dan berdimensi keuangan, melainkan dipahami secara
komprehensif dalam arti memperhatikan baik aspek kualitatif dan kuantitatif,
keuangan dan non-keuangan, maupun aspek kelestarian lingkungan. Politik ekonomi
kerakyatan memang tidak didasarkan atas pemerataan, pertumbuhan, dan
stabilitas, melainkan atas keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan.
c.
Mekanisme alokasi melalui
perencanaan pemerintah, mekanisme pasar, dan kerja sama (cooperatif). Mekanisme
alokasi dalam sistem ekonomi kerakyatan, kecuali untuk cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetap
didasarkan atas mekanisme pasar. Tetapi mekanisme pasar bukan satu-satunya.
Selain melalui mekanisme pasar, alokasi juga didorong untuk diselenggarakan
melalui mekanisme usaha bersama (koperasi). Mekanisme pasar dan koperasi dapat
diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama dalam mekanisme
alokasi sistem ekonomi kerakyatan.
d.
Pemerataan penguasaan faktor
produksi. Dalam rangka itu, sejalan dengan amanat penjelasan pasal 33 UUD 1945,
penyelenggaraan pasar dan koperasi dalam sistem ekonomi kerakyatan harus
dilakukan dengan terus menerus melakukan penataan kelembagaan, yaitu dengan
cara memeratakan penguasaan modal atau faktor-faktor produksi kepada segenap
lapisan anggota masyarakat. Proses sistematis untuk mendemokratisasikan penguasaan
faktor-faktor produksi atau peningkatan kedaulatan ekonomi rakyat inilah yang
menjadi substansi sistem ekonomi kerakyatan.
e.
Koperasi sebagai sokoguru
perekonomian. Dilihat dari sudut pasal 33 UUD 1945, keikutsertaan anggota
masyarakat dalam memiliki faktor-faktor produksi itulah antara lain yang
menyebabkan dinyatakannya koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan
sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana diketahui, perbedaan koperasi dari
perusahaan perseroan terletak pada diterapkannya prinsip keterbukaan bagi semua
pihak yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh
koperasi untuk turut menjadi anggota koperasi.
f.
Pola hubungan produksi kemitraan,
bukan buruh-majikan. Pada koperasi memang terdapat perbedaan mendasar yang membedakannya
secara diametral dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Di antaranya adalah
pada dihilangkannya pemilahan buruh-majikan, yaitu diikutsertakannya buruh
sebagai pemilik perusahaan atau anggota koperasi. Sebagaimana ditegaskan oleh
Bung Hatta, “Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja
yang bekerja sama untuk menyelenggarakan keperluan bersama”. Karakter utama
ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi pada dasarnya terletak pada
dihilangkannya watak individualistis dan kapitalistis dari wajah perekonomian
Indonesia. Secara mikro hal itu antara lain berarti diikutsertakannya pelanggan
dan buruh sebagai anggota koperasi atau pemilik perusahaan. Sedangkan secara
makro hal itu berarti ditegakkannya kedaulatan ekonomi rakyat dan diletakkannya
kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang.
g.
Kepemilikan saham oleh pekerja.
Dengan diangkatnya kerakyatan atau demokrasi sebagai prinsip dasar sistem
perekonomian Indonesia, prinsip itu dengan sendirinya tidak hanya memiliki
kedudukan penting dalam menentukan corak perekonomian yang harus
diselenggarakan oleh negara pada tingkat makro. Ia juga memiliki kedudukan yang
sangat penting dalam menentukan corak perusahaan yang harus dikembangkan pada
tingkat mikro. Perusahaan hendaknya dikembangkan sebagai bangun usaha yang
dimiliki dan dikelola secara kolektif (cooperatif) melalui penerapan pola-pola
Kepemilikan Saham oleh Pekerja.
3.
Tujuan dan Sasaran Sistem Ekonomi
Kerakyatan
Bertolak
dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa tujuan utama penyelenggaraan
sistem ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam
mengendalikan jalannya roda perekonomian. Bila tujuan utama ekonomi kerakyatan itu
dijabarkan lebih lanjut, maka sasaran pokok ekonomi kerakyatan dalam garis
besarnya meliputi lima hal berikut:
a. Tersedianya
peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota
masyarakat.
b. Terselenggaranya
sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir
miskin dan anak-anak terlantar.
c. Terdistribusikannya
kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat.
d. Terselenggaranya
pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
e. Terjaminnya
kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota
serikat-serikat ekonomi.
4.
Ekonomi Kerakyatan di Indonesia
Salah
satu gagasan ekonomi yang dalam beberapa waktu belakangan ini cukup banyak
mengundang perhatian adalah mengenai 'ekonomi kerakyatan'. Di tengah-tengah
himpitan krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia, serta maraknya
perbincangan mengenai globalisasi dan globalisme dalam pentas wacana
ekonomi-politik dunia, kehadiran ekonomi kerakyatan dalam pentas wacana
ekonomi-politik Indonesia memang terasa cukup menyegarkan. Akibatya, walau pun
penggunaan ungkapan itu dalam kenyataan sehari-hari cenderung tumpang tindih
dengan ungkapan ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan cenderung dipandang
seolah-olah merupakan gagasan baru dalam pentas ekonomi-polilik di Indonesia.
Kesimpulan
seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab, bila ditelusuri ke belakang,
dengan mudah dapat diketahui bahwa perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan
sesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Indonesia memproklamkan
kemerdekaannya. Pada mulanya adalah Bung Hatta, di tengah-tengah dampak buruk
depresi ekonomi dunia yang tengah melanda Indonesia, yang menulis sebuah
artikel dengan judul Ekonomi Rakyat di harian Daulat Rakyat (Hatta, 1954).
Dalam artikel yang diterbitkan tanggal 20 Nopember 1933 tersebut, Bung Hatta
secara jelas mengungkapkan kegusarannya dalam menyaksikan kemerosotan kondisi
ekonoroi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.
Yang
dimaksud dengan ekonomi rakyat oleh Bimg Hatta ketika itu tentu tidak lain dari
ekonomi kaum pribumi atau ekonomi penduduk asli Indonesia. Dibandmgkan dengan
ekonomi kaum penjajah yang berada di lapisan atas, dan ekonomi warga timur
asing yang berada di lapisan tengah, ekonomi rakyat Indonesia ketika itu memang
sangat jauh tertinggal. Sedemikian mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan
penderitaan rakyat pada masa itu, meika tahun 1934 beliau kembali menulis
sebuah artikel dengan nada serupa. Judulnya kali ini adalah Ekonomi Rakyat
Dalam Bahaya (Hatta, 1954). Dari judulnya dengan mudah dapat diketahui betapa
semakin mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan kemerosotan ekonomi rakyat
Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.
Tetapi
sebagai seorang ekonom yang berada di luar pemerintahan, Bung Hatta tentu tidak
bisa berbuat banyak untuk secara langsung mengubah kebijakan ekonomi
pemerintah. Untuk mengatasi kendala tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Bung
Hatta kecuali terjun secara langsung ke gelanggang politik. Dalam pandangan
Bung Hatta, perbaikan kondisi ekonomi rakyat hanya. mungkin dilakukan bila kaum
penjajah disingkirkan dari negeri ini. Artinya, bagi Bung Hatta, perjuangan
merebut kemerdekaan sejak semula memang diniatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Walau pun demikian, sebagai
seorang ekonom pejuang, tidak berarti Bung Hatta serta merta meninggalkan
upayanya untuk memperkuat ekonomi rakyat melalui perjuangan ekonomi. Tindakan
konkret yang dilakukan Bung Hatta untuk memperkuat ekonomi rakyat ketika itu
adalah dengan menggalang kekuatan ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi.
Terinspirasi oleh perjuangan kaum buruh dan tani di Eropa, Bung Hatta berupaya
sekuat tenaga untuk mendorong pengembangan koperasi sebagai wadah perjuangan
ekonomi rakyat.
Sebagaimana
terbukti kemudian, kepedulian Bung Hatta terhadap koperasi tersebut berlanjut
jauh setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Hal itu antara lain
disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat
tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk
memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah
struktur ekonomi Indoncsia dari sebuah perekonomian yang berwatak koionial
menjadi sebuah perekonomian nasional. Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang
dimaksud dengan ekonomi nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh
meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor
produksi di tanah air.
Kesadaran-kesadaran
seperti itulah yang menjadi titik tolak perumusian pasal 33 Undang Undang Dasar
(UUD) 1945. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pasal tersebut,
"Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan
oleh semua unluk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang
seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah
koperasi."
Dalani
kutipan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut, ungkapan ekonomi kerakyatan
memang tidak ditemukan secara eksplisit. Ungkapan konsepsional yang ditemukan
dalam penjelasan Pasal 33 itu adalah mengenai 'demokrasi ekonomi'. Walaupun
demikian, mengacu pada definisi kata 'kerkayatari' sebagaimana dikemukakan oleh
Bung Hatta (Hatta, 1932), serta penggunaan kata kerakyatan pada sila keempat
Pancasila, tidak terlalu sulit untuk disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
ekonomi kerakyatan sesungguhnya tidak lain dari demokrasi ekonomi sebagaimana
dikemukakan dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 itu. Artinya, ekonomi kerakyatan
hanyalah ungkapan lain dari demokrasi ekonomi (Baswir, 1995). Ekonomi
Kerakyatan dan Bung Hatta.
Perbincangan
mengenai ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi memang tidak dapat
dipisahkan dari Bung Hatta. Sebagai Bapak Pendiri Bangsa dan sekaligus sebagai
seorang ekonom pejuang, Bung Hatta tidak hanya telah turut meletakkan
dasar-dasar penyelenggaraan sebuah negara merdeka dan berdaulat berdasarkan
konstitusi. Beliau juga inemainkan peranan yang sangat besar dalam meletakkan
dasar-dasar penyelenggaraan perekonomian nasional berdasarkan ekonomi
kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Bahkan, sebagai Bapak Koperasi Indonesia,
Bung Hatta lah yang secara konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya
kedaulatan ekonomi rakyat dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Tetapi
bila ditelusuri ke belakang, akan segera diketahui bahwa persinggungan Bung
Hatta dengan gagasan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi
sekurang-kurangnya telah dimulai sejak berlangsungnya perbincangan antara Bung
Hatta dan Tan Malaka di Berlin, bulan Juli 1922. Bung Hatta ketika itu bduni
genap setahun berada di negeri Belanda. Dalam perbincangan tersebut, yaitu
ketika Tan Malaka mengungkapkan kekecewaannya terhadap model pemerintahan
diktatur yang diselenggarakan Stalin di Uni Soviet, Bung Hatta serta merta
menyelanya dengan sebuah pertanyaan yang sangat tajam, "Bukankah
kediktaturan memang inheren dalam paham komunisme?
Pertanyaan
Bung Hatta tersebut ditanggapi oleh Tan Malaka dengan menjelaskan teori
diktatur proletariat yang diperkenalkan oleh Karl Marx. Menurut Tan Malaka,
diktatur proletariat sebagaimana dikemukakan oleh Marx hanya berlangsung selama
periode transisi, yaitu selama berlangsungnya pemindahan penguasaan alat-alat
produksi dari tangan kaum kapitalis ke tangan rakyat banyak.
Selanjutya,
kaum pekerja yang sebelumnya telah tercerahkan di bawah panduan perjuangan
kelas, akan mengambil peran sebagai penunjuk jalan dalam membangun keadilan Hal
itu akan dicapai dengan cara menyelenggarakan produksi oleh semua, untuk semua,
di bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat. Hal tersebut jelas sangat
bertolak belakang dengan diktatur personal" (Hatta, 1981). Penggalan
kalimat Tan Malaka yang berbunyi "produksi oleh semua, untuk semua, di
bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat" itu tentu mengingatkan
kita pada penggalan kalimat yang terdapat dalam penjelasan pasal 33 IJUD 1945
sebagaimana dikemukakan tadi. Kemiripan kedua kalimat tersebut secara jelas
mengungkapkan bahwa persinggungan Bung Hatta dengan konsep ekonomi kerakyatan
setidak-tidaknya telah berlangsung sejak tahun 1922, sejak tahun pertama ia
berada di negeri Belanda.
Perkenalan
pertama itu tampaknya sangat berkesan bagi Bung Hatta, sehingga mendorongnya
untuk melakukan pengkajian secara mendalam. Selain membaca bukubuku sosialisme,
Bung Hatta juga memperluas pergaularmya dengan kalangan Partai Buruh Sosial
Demokrat (SDAP) di Belanda. Bahkan, tahun 1925, sebagai aktivis Perhimpunan
Indonesia, Bung Hatta sengaja memutuskan untuk melakukan kunjungan ke beberapa
negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia. Tujuannya adalah unluk
mempelajari gerakan koperasi. dari dekat (Hatta, 1981). Selepas menyelesaikan
studi di Belanda, komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan terus
berlanjut. Salah satu tulisan yang mengungkapkan konsistensi komitmen Bung
Hatta terhadap ekonomi kerakyatan adalah pamphlet yang disusunnya untuk
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) pada tahun 1932. Dalam pamphlet yang
berjudul "Menuju Indonesia Merdeka" tersebut, Bung Hatta mengupas
secara panjang lebar mengenai pengertian kerakyatan, demokrasi., dan arti
penting demokrasi ekonomi sebagai salah satu pilar model demokrasi sosial yang
cocok bagi Indonesia merdeka, Sebagaimana ditulisnya, di atas sendi yang ketiga
(cita-cita tolong-menolong-pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi.
Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yartg mesti menguasai
penghidupan orang bariyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan
rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu,
segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus
berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan
perantaraan Badan-badan perwakilannya," (Hatta, 1932).
Dengan
latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila dalam kedudukan sebagai
penyusun UUD 1945, Bung Hatta berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan ekonomi
kerakyatan sebagai prinsiop dasar sistem perekonomian Indonesia. Hal itu pula,
saya kira, yang menjelaskan mengapa setelah menjabat sebagai wakil presiden,
Bung Hatta terus mendorong pengembangan koperasi di Indonesia. Berkat komitmen
tersebut, sangat wajar bila tahun 1947 Bung Hatta secara resmi dikukuhkan oleh
Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) sebagai Bapak Koperasi
Indonesia. Konsistensi komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan itu
bahkan berlanjut setelah beliau melepaskan jabatannya sebagai wakil presiden.
Sebagaimana terungkap dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita, yang diterbitkan empat tahun setelah beliau
meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden pada taliun 1956, Bung Hatta
sekali lagi mempertegas pentingnya penyelenggaraan ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi sebagai jalan dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia.
Sebagaimana ditulisnya, "Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan
dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi
ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum
ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial., melingkupi
seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia," (Hatta, 1960).
Mengikuti jejak Bung Hatta dalam memperjuangkan penyelenggaraan sistem ekonomi
kerakyatan di Indonesia, dapat disaksikan betapa Bung Hatta tidak hanya
memandang ekonomi kerakyatan sebagai amanat konstitusi. Bung Hatta telah
menghayati ekonomi kerakyatan jauh sebelum ia kembali ke Indonesia. la terus
raenerus meletakkan dasar-dasarnya selama masa perjuangan kemerdekaan. Bahkan
ia terus pienerus mendorong penyelenggarannya selama menjadi penguasa. Dan ia
tetap meyakini kebenarannya setelah menanggalkan kekuasaannya, yang perlu
digaris bawahi adalah, dengan dinyatakannya ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi sebagai konsep dasar sistem perekonomian Indonesia, berarti Bung Hatta
dan para penyusun UUD 1945 telah secara resmi menggeser perbincangan mengenai
"ekonomi rakyat menjadi ekonomi kerakyatan. Tujuan jangka pendek kebijakan
itu adalah untuk menghapuskan penggolong-golongan status sosial-ekonomi
masyarakat, baik berdasarkan ras maupun berdasarkan tingkat penguasaan
faktor-faktor produksi. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mengoreksi
struktur ekonomi kolonial yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda, serta
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian
Indonesia.
Tetapi
karena pengembangan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi harus dilakukan
secara demokratis pula, hal itu secara tidak langsung mengungkapkan pandangan
dialektik para bapak pettdiri bangsa mengenai hubungan antara transfonnasi politik
dan transformasi ekonomi dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Secara politik, penjajahan
harus segera dihapuskan dari muka bumi. Namun secara ekonomi, transformasi
ekonomi harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan perangkat hukum yang tersedia,
Adalah tugas pemerintah Indonesia untuk secara berangsur-angsur memperbaharui
perangkat hukum yang mendasari penyelenggaraan sistem perekonomian Indonesia.
Yang
menarik, walau pun memiliki akar jauh sebelum Indonesia merdeka,
perjalananekonomi kerakyatan dalam pentas pemikiran ekonomi Indonesia ternyata
bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Dalam era 1945 - 1958, gagasan ekonomi
kerakyatan cenderung mengalami proses pasang surut. Sebagaimana diketahui,
sampai dengan 1949 kaum penjajah belum sepenuhnya rela meninggalkan Indonesia,
Sementara antara 1950 - 1958, walaupun Pemilu 1955 berlangsung dengan sukses,
Indonesia terlanjui' terjebak ke dalam kancah pergulatan politik internal yang
hampir tiada hentinya. Sedangkan antara 1959-1965, yang dikenal sebagai era
ekonomi dan demokrasi terpimpin itu, di tengah-tengah situasi perekonomian
Indonesia yang teras memburuk, semangat ekonomi kerakyatan cenderung mengalami
politisasi secara besar-besaran. Puncaknya adalah pada terjadinya kudeta 30
September 1965, yaitu yang memicu terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno
kepada Soeharto pada 11 Maret 1966.
Ekonomi Orde Baru
Sebagai
antithesa dari era pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Soeharto yang kemudian
dikenal sebagai pemerintahan Orde Baru, menandai bergesernya bandul perekonomian
Indonesia ke sisi sebelah kanan. Hal itu antara lain ditandai dengan diundangkannya
Undang Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. 1/1967 dan UU Koperasi No.
12/1967. Memang, di awal Orde Baru ini gagasan ekonomi kerakyatan sempat
mencoba muncul kembali. Tetapi dalam pergulatan pemikiran yang terjadi antara kubu
ekonomi kerakyatan yang antara lain dimotori oleh Sarbini Sumawinata, dengan kubu
ekonomi neoliberal yang dimotori oleh Widjojo Nitisastro, kubu ekonomi neoliberal
muncul sebagai pemenang. Sarbini hanya sempat singgah sebentar di Bappenas pada
beberapa tahun pertama Orde Baru.
Setelah
itu, walaupun tahun 1974 Indonesia sempat diguncang oleh peristiwa Malari, perkembangan
perekonomian Indonesia di tangan teknokrat neoliberal boleh dikatakan semakin
sulit dibendung. Para teknokrat neoliberal, dengan dukungan penuh dari Dana. Moneter
Intemasional (IMF), Bank Dunia, dan negara-negara kreditur yang tergabung dalam
Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI), silih berganti memimpin perumusan
kebijakan ekonomi Indonesia. Sasaran utama mereka adalah terpeliharanya stabilitas
makro ekonomi dan tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi setinggitingginya. Untuk
itu, instrumen utamanya adalah penggalangan modal asing, baik melalui pembuatan
utang luar negeri maupun dengan mengundangnya masuknya. investasi asing langsung.
Pada
mulanya prestasi teknokrat neoliberal, yang sempat dikenal sebagai Mafia
Berkeley itu, memang cukup mencengangkan. Terhitung sejak awal Pelita I (1969
-1973), inflasi berhasil dikendalikan di bawah dua digit. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia berhasil dipacu dengan rata-rata 6,5 persen pertahun. Implikasinya,
pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang pada 1969 masih sekitar USD 90,
lahun 1982 berhasil ditingkatkan menjadi USD 520.
Bahkan,
di penghujung 1980-an, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan
sempat dipuji oleh Bank Dunia. Menurut lembaga keuangan multilateral yang
didirikan pada tahun 1944 tersebut, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan
patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang lainnya (World Bank,
1990), Tahun 1997, sebelum perekonomian Indonesia. ambruk dilanda oleh krisis moneter,
pendapatan perkapita penduduk Indonesia sudah berhasil ditingkatkan menjadi USD
1,020.
Dengan
mengemukakan hal itu tentu tidak berarti bahwa perjalanan ekonomi neoliberal sepanjang
era Orde Baru tidak berlangsung tanpa kritik. Salah satu kritik yang sering dialamatkan
terhadap kebijakan ekonomi yang pro pertumbuhan dan modal asing itu adalah soal
melebarnya jurang kesenjangan. Pertumbuhan ekonomi lndonesia yang cukup
mengagumkan itu, ternyata tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan penduduk.
Kesenjangan pengeluaran antara 10 persen penduduk termiskin dengan 10 persen
penduduk terkaya, meningkat dari 1 : 6,5 pada tahun 1970, meujadi 1 : 8,7 pada tahun
1995.
Salah seorang pengritik kebijakan
ekonomi neoliberal yang cukup terkemuka sepanjang tahun delapan puluhan adalah
Mubyarto. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi di Universitas
Gadjah Mada (UGM) tahun 1979, Mubyarto dengan tajam mengritik kebijakan ekonomi
Orde Baru yang dipandangnya sudah sangat jauh melenceng dari amanat konstitusi.
Sembari menggaris bawahi pentingnya pendekatan transdisipliner dalam
pelaksanaan pembangunan di Indonesia, Mubyarto kembali memunculkan semangat
ekonomi kerakyatan ke permukaan dengan label Ekonomi Pancasila. Namun demikian,
sebagaimana Sarbini, kritik tajam Mubyarto hilang begitu saja seperti ditelan
ombak. Bahkan, Mubyarto sendiri kemudian turut ditelan oleh 'ombak' Kabinet
Pembangunan VI.
Kritik
lain yang mencuat terhadap kebijakan ekonomi neoliberal dalam era 1980-an adalah
mengenai merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kesenjangan ekonomi
Indonesia terayata tidak hanya disebabkan oleh adanya trade off antara pertumbuhan
dengan pemerataan. Secara empiris, hal itu ternyata diperparah oleh merajalelanya
KKN pada hampir semua tingkat birokrasi pemerintahan di Indonesia. Beberapa
tahun terakhir menjelang kejatuhan Soeharto, Indonesia praktis sudah dikenal oleh
masyarakat intemasional sebagai salah satu negara juara korupsi di dunia. Konsekuensinya,
perkoncoan penguasa-pengusaha dalam pentas ekonomi Orde Baru cenderung tampak
semakin kasat mata. Bahkan, terhitung sejak pertengahan 1980-an, keterlibatan
kerabat Cendana dalam memperebutkan kue bisnis di Indonesia mulai mencuat ke
permukaan menjadi bahan perbincangan umum. Separuh terakhir era ekonomi Orde
Baru memang ditandai oleh maraknya perbincangan mengenai perkembangan
kapitalisme perkoncoan (crony capitalism) di Indonesia.
Yang
tidak banyak diketahui oleh warga masyarakat adalah soal keterlibatan para
pejabat pemerintah dan para pengusaha kroni Orde Baru itu dalam menumpuk utang
luar negeri. Selain hidup dari fasilitas negara dan penyalahgunaan tabungan
masyarakat, para pengusaha kroni Orde Baru tersebut ternyata juga membangun
kerajaan bisnis mereka dengan cara menumpuk utang. Dengan bertumpuknya utang
luar negeri sektor swasta sebesar 65 milyar dolar AS, di atas tumpukkan utang
luar negeri pemerintah sebesar 54 milyar dolar AS, dapat disaksikan betapa
kebiasaan menumpuk utang luar negeri dalam era Orde Baru, selain dilakukan oleh
sektor negara, dilakukan pula oleh sektor dunia usaha.
Klimaksnya,
sebagaimana berlangsung sejak pertengahan 1997, perekonomian Indonesia tiba-tiba
ambruk dihantam oleh badai krisis moneter yang ditiupkan. oleh kekuatan kapitalisme
kasino (casiho capitalism). Fundamental ekonomi Indonesia yang di permukaan
tampak cukup meyakinkan, bagian dalamnya temyata keropos dan menyimpan bom
waktu. Selain ditandai oleh tingkat kesenjangan ekonomi yang mencolok dan
merajalelanya KKN, pertumbuhan ekonomi Orde Baru yang rata-rata mencapai 6,5
persen tadi ternyata hanyalah pertumbuhan ekonomi semu yang dibangun di atas
fondasi tumpukan utang luar negeri. Selanjutnya, seiring dengan semakin
merosotya nilai rupiah dan tumbangnya Soeharto, para kroni Orde Baru yang telah
terlanjur menumpuk utang luar negeri tersebut, terjungkal satu per satu. Celakanya,
antara lain melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi yang secara keseluruhan
berjumlah sekitar Rp 650 trilyun, yaitu yang ditujukan untuk menyelamatkan
sektor perbankan, rakyat banyak yang sudah cukup lama menderita turut mereka
bawa serta. Sebagaimana
diketahui, kurs rupiah pada permulaan 1998 memang sempat merosot secara tajam
dari rata-rata Rp 2.400 menjadi Rp l6.000 per satu dollar AS. Akibatya, laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1998 mengalami kontraksi secara
dramatis sebesar -13,8 persen. Dengan demikian, krisis ekonomi yang melanda
Indonesia tidak hanya menjadi malapetaka bagi mereka yang berkuasa dan serba punya,
tetapi menjadi malapetaka pula bagi rakyat banyak yang telah lama menderita.
Singkat
cerita, krisis ekonomi yang sempat meluas menjadi kerusuhan sosial dan politik itu,
bermuara pada melambungnya harga berbagai kebutuhan pokok rakyat, ditutupnya 16
bank atas perintah Dana Moneter Internasional (MF), bangkruIya sejumlah
perusahaan, dan meluasnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara nasional.
Bahkan, menyusul penerbitan obligasi rekapitalisasi sebesar Rp 650 trilyun
sebagaimana dikemukakan tadi, pemerintah Indonesia secara resmi terpuruk ke
dalam perangkap utang dalam dan luar negeri sebesar Rp l.300 trilyun. Di
tengah-tengah situasi seperti itu, yaitu dengan berlangsungnya proses
sistematis sosialisasi beban ekonomi negara kepada rakyat banyak, kondisi
perekonomian rakyat dengan sendirinya terpuruk semakin dalam.
Substansi
Ekonomi Kerakyatan.
Landasan
konstitusional sistem ekonomi kerakyatan adalah Pasal 33 UUD 1945. "Dalam
pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk
semua di bawali pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu,
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi."
Berdasarkan
bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu, dapat disaksikan bahwa
substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut.
Pertama,
partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional ini menempati kedudukan
yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting
untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga sebagai
dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati
hasil produksi nasional. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945
yang menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusian."
Kedua,
partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional.
Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota
masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan
anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang
menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin
dan anak-anak terlantar di Indonesia.
Ketiga,
kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung
di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam
rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh
hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan
agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walaupun kegiatan pembentukan
produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan
angota-anggota masyarakat.
Unsur
ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang ketiga tersebut saya kira perlu digarisbawahi.
Sebab unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itulah yang mendasari perlunya
partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau
faktorfaktor produksi nasional. Perlu diketahui, yang dimaksud dengan modal
dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material
capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capitaf) dan
modal institusional (institusional capital). Sebagai konsekuensi logis dari
unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus
menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal
tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan
modal material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak
kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua
anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat
yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok
menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.
Sehubungan
dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional
secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi,
penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara
memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan,
tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung
biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang
membutuhkannya.
Sementara
itu, sehubungan dengan modal institusional, saya kira tidak ada keraguan sedikit
pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat
untuk. berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu
diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang."
Kemerdekaan
anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat
tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi
meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan
bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk
serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan,
serikat usaha kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat
ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
Bertolak
dari uraian tersebut, dapat disaksikan bahwa tujuan utama ekonomi kerakyatan pada
dasarnya adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya
roda perekonomian. Bila tujuan utama ekonomi kerakyatan itu dijabarkan lebih lanjut,
maka sasaran pokok ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya meliputi lima hal berikut:
- Tersedianya
peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyarakat.
- Terselenggaranya
sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama
fakir miskin dan anak-anak teriantar.
- Terdistribusikannya
kepemilikan modal materiaJ secata relatif merata di antara anggota
masyarakat.
- Terselenggaranya
pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
- Terjaminnya
kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota
serikat-serikat ekonomi.
Sejalan
dengan itu, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, negara
memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Peranan
negara tidak hanya terbatas sebagai pengatur jalannya roda perekonomian. Melalui
pendirian Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak, negara dapat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan
berbagai kegiatan ekonomi tersebut. Tujuannya adalah untuk menjamin agar
kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakinuran orang seorang,
dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke taugan orang seorang, yang memungkinkan
ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.
Walau
pun demikian, sama sekali tidak benar jika dikatakan bahwa system ekonomi kerakyatan
cenderung mengabaikan efisiensi dan bersifat anti pasar. Efisiensi dalam sistem
ekonomi kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka pendek dan berdimensi
keuangan, melainkan dipahami secara komprehensif dalam arti memperhatikan baik
aspek kualitatif dan kuantitatif, keuangan dan non-keuangan, maupun aspek
kelestarian lingkungan. Politik ekonomi kerakyatan memang tidak didasarkan atas
pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas, melainkan atas keadilan, partisipasi,
dan keberlanjutan. Mekanisme alokasi dalam sistem ekonomi kerakyatan, kecuali
untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak, tetap di dasarkan atas mekanisme pasar. Tetapi mekanisme pasar
bukan satu-satunya. Selain melalui mekanisme pasar, alokasi juga didorong untuk
diselenggaran melalui mekanisme usaha bersama (koperasi). Mekanisme pasar dan
koperasi dapat. diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama
dalam mekanisme alokasi sistem ekonomi kerakyatan.
Dalam
rangka itu, sejalan dengan amanat penjelasan pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan
pasar dan koperasi dalam sistem ekonomi kerakyatan harus dilakukan dengan terus
menerus melakukan penataan kelembagaan, yaitu dengan cara memeratakan penguasaan
modal atau faktor-faktor produksi kepada segenap lapisan anggota maisyarakat.
Proses sistematis untuk mendemokratisasikan penguasaan faktor-faktor produksi
atau peningkatan kedaulatan ekonomi rakyat inilah yang menjadi substansi sistem
ekonomi kerakyatan. Dilihat dari sudut Pasal 33 UUD 1945, keikutsertaan anggota
masyarakat dalam memiliki faktor-faktor produksi itulah antara lain yang menyebabkan
dinyatakannya koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan sistem ekonomi
kerakyatan. Sebagaimana diketahui, perbedaan koperasi dari perusahaan perseroan
terletak pada diterapkannya prinsip keterbukaan bagi semua pihak yang mempunyai
kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh koperasi untuk turut
menjadi anggota koperasi. Sehubungan dengan itu, Bapak Koperasi Indonesia Bung
Hatta, berulangkali menegaskan bahwa pada koperasi memang terdapat perbedaan
mendasar yang membedakannya secara diametral dari bentuk-bentuk perusahaan yang
lain. Di antaranya adalah pada dihilangkannya pemilahan buruh-majikan, yaitu
diikutsertakannya buruh sebagai pemilik perusahaan atau anggota koperasi. Sebagaimana
ditegaskan oleh Bung Hatta, "Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada
buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan
bersama" (Ibid, hal. 203}.
Penegasan
seperti itu diuraikan lebih lanjut oleh Bung Hatta dengan mengemukakan beberapa
contoh, "Misalnya koperasi menggaji bumh untuk menyapu ruangan bekerja, supaya
anggota-anggota yang bekerja jangan terganggu kesehatannya oleh debu. Upamanya
pula koperasi menggaji instruktur untuk mengajar dan memberi petunjuk tentang
cara mengerjakan administrasi dan pembukuan kepada anggota yang diserahi dengan
pekerjaan itu. Sungguh pun demikian, juga terhadap mereka yang memburuh itu, yang
mengerjakan pekerjaan kecil-kecil, koperasi harus' membuka kesempatan untuk menjadi
anggota. Bukan corak pekerjaan yang dikerjakan yang menjadi ukuran untuk menjadi
anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung
dalam dada dan kepala masing-masing".
Berdasarkan
ilustrasi Bung Hatta itu, kiranya jelas, karakter utama ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi pada dasamya terletak pada dihilangkannya watak individualistis
dan kapitalistis dari wajah perekonomian Indonesia. Secara mikro hal itu antara
lain berarti diikutsertakannya pelanggan dan buruh sebagai anggota koperasi
atau pemilik perusahaan. Sedangkan secara makro hal itu berarti ditegakkannya
kedaulatan ekonomi rakyat dan diletakkannya kemakmuran masyarakat di atas
kemakmuran orang seorang. Pendek kata, dengan diangkatya ekonomi kerakyatan sebagai
prinsip penyelenggaraan ekonomi Indonesia, prinsip itu dengan sendirinya tidak
hanya memiliki kedudukan penting dalam menentukan corak sistem perekonomian yang
harus diselenggarakan oleh pemerintah pada tingkat makro. la juga memiliki kedudukan
yang sangat penting dalam menentukan corak perusahaan yang sepatuIya dikembangkan
pada tingkat mikro. Penegakan kedaulatan ekonomi rakyat dan pengutamaan
kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang, hanya dapat dilakukan
dengan menerapkan dan mengamalkan priusip tersebut.
Pada
akhir tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa dalam
empat hingga lima tahun ke depan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan
mencapai 9 ribu triliun rupiah atau dua ribu triliun rupiah lebih tinggi daripada
PDB tahun 2010. Lebih jauh dijelaskan oleh Menko Perekonomian bahwa pada tahun
2025 PDB Indonesia akan berada pada kisaran antara 3,7 hingga 4,7 triliun dolar
AS dengan pendapatan per kapita antara 12 ribu hingga 16 ribu dolar AS yang
setara dengan lebih kurang 8,5 juta hingga 11 juta rupiah per kapita per bulan.
Capaian yang cukup spektakuler tersebut akan direalisasikan melalui penggunaan
“sistem ekonomi terbuka” yakni: sistem ekonomi yang mengutamakan peran pasar
meski peran pemerintah tetap besar” (Suryohadiprojo, 2011).
Jelas dari ungkapan presiden dan pembantunya di atas, tatanan ekonomi Indonesia, diakui atau tidak, tidak lain adalah—atau paling tidak, sebagaimana dikemukakan Suryohadiprojo (2011), lebih mengarah ke tatanan ekonomi neoliberasme yang didefinisikan oleh Martinez dan García (2001) sebagai “…. a modern politicoeconomic theory favoring free trade, privatization, minimal government intervention in business, reduced public expenditure on social services, etc.” Di dunia, lanjut mereka, neoliberalisme diterapkan oleh lembaga keuangan dunia yang sangat kuat yakni International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan the Inter-American Development Bank. Ciri lain dari ekonomi neoliberalisme adalah fokusnya yang kuat pada pertumbuhan ekonomi yang biasa direpresentasikan, antara lain, oleh produk domestik bruto (PDB).
Jelas dari ungkapan presiden dan pembantunya di atas, tatanan ekonomi Indonesia, diakui atau tidak, tidak lain adalah—atau paling tidak, sebagaimana dikemukakan Suryohadiprojo (2011), lebih mengarah ke tatanan ekonomi neoliberasme yang didefinisikan oleh Martinez dan García (2001) sebagai “…. a modern politicoeconomic theory favoring free trade, privatization, minimal government intervention in business, reduced public expenditure on social services, etc.” Di dunia, lanjut mereka, neoliberalisme diterapkan oleh lembaga keuangan dunia yang sangat kuat yakni International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan the Inter-American Development Bank. Ciri lain dari ekonomi neoliberalisme adalah fokusnya yang kuat pada pertumbuhan ekonomi yang biasa direpresentasikan, antara lain, oleh produk domestik bruto (PDB).
Dampak
langsung dari diterapkannya sistem ekonomi neoliberalisme adalah turunnya upah
sebesar 40 hingga 50 persen dan meningkatnya biaya hidup hingga 80 persen pada
tahun pertama pemberlakuan NAFTA (North America Free Trade Agreement) di
Meksiko. Lebih dari 20 ribu unit usaha kecil dan menengah mengalami kepailitan
dan tidak kurang dari seribu unit badan usaha milik pemerintah (semacam BUMN)
diprivatisasi. Berdasarkan pada fenomena tersebut, ada pihak yang mengatakan
bahwa neolibelisme di Amerika Latin tidak lain adalah neokolonialisme—bentuk
penjajahan baru (Martinez dan Garcia, 2001).
Meskipun belum didukung oleh data empiris yang akurat, gejala seperti apa yang dialami Meksiko, yakni banyaknya unit usaha kecil dan menengah yang mengalami kepailitan dan adanya sejumlah unit badan usaha milik pemerintah yang diprivatisasi, di Indonesia sudah mulai menampakkan wajahnya. Kondisi tersebut ditambah dengan semakin melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian serta tingginya tingkat kerusakan ekologi akibat eksploitasi besar-besaran, mengindikasikan bahwa sebenarnya tatanan perekonomian yang diterapkan di Indonesia adalah neoliberalisme (Baswir, 2009). Bahkan, lebih tegas ia mengemukakan bahwa setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun belakangan ini, cengkeraman neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia cenderung semakin dalam. Sebuah pernyataan yang sesuai dengan pendapat Martinez dan Gracia (2001) bahwa neoliberalisme—kali ini di Indonesia, bukan di Amerika Latin—tidak lain adalah neokolonialisme.
Meskipun belum didukung oleh data empiris yang akurat, gejala seperti apa yang dialami Meksiko, yakni banyaknya unit usaha kecil dan menengah yang mengalami kepailitan dan adanya sejumlah unit badan usaha milik pemerintah yang diprivatisasi, di Indonesia sudah mulai menampakkan wajahnya. Kondisi tersebut ditambah dengan semakin melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian serta tingginya tingkat kerusakan ekologi akibat eksploitasi besar-besaran, mengindikasikan bahwa sebenarnya tatanan perekonomian yang diterapkan di Indonesia adalah neoliberalisme (Baswir, 2009). Bahkan, lebih tegas ia mengemukakan bahwa setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun belakangan ini, cengkeraman neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia cenderung semakin dalam. Sebuah pernyataan yang sesuai dengan pendapat Martinez dan Gracia (2001) bahwa neoliberalisme—kali ini di Indonesia, bukan di Amerika Latin—tidak lain adalah neokolonialisme.
Dilihat
dari definisi dan orientasinya, sistem ekonomi neoliberalisme jauh
bersebarangan dengan sistem ekonomi kerakyatan. Tiga dari sejumlah perbedaan
yang ada antara keduanya adalah bahwa neoliberalisme diarahkan untuk (i)
mengatur dan menjaga bekerjanya mekanisme pasar sambil mencegah monopoli, (ii)
mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi BUMN, dan (iii) memacu
laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi masuknya investasi (Baswir, 2009). Dengan demikian, perjuangan untuk
membumikan sistem ekonomi kerakyatan masih panjang dan berat, meski masih
menyimpan secercah harapan, dengan syarat, seperti dikemukakan Swasono (2002),
bangsa ini tidak “menobatkan” pasar bebas sebagai “berhala baru” di mana semua
pihak—dari mulai menteri ekonomi hingga presiden bahkan kabinet yang dibentuk
presiden, harus bersahabat dengan pasar. Sebaliknya, pasarlah yang harus
bersahabat dengan kita, rakyat Indonesia.
Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah dalam Tatanan Ekonomi Kerakyatan Indonesia dan Era
Globalisasi. Konstituen utama sistem ekonomi kerakyatan adalah kelompok
masyarakat yang termarjinalkan dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal.
Mereka, secara garis besar, adalah kelompok tani, kelompok buruh, kelompok
nelayan, kelompok pegawai negeri sipil golongan bawah, kelompok pelaku usaha
mikro, kecil, dan menengah serta kelompok miskin di perkotaan (Baswir, 2006).
Sementara itu, koperasi jelas diungkapkan dalam penjelasan Pasal 33 Undang
Undang Dasar 1945 merupakan bangun perusahaan yang sesuai untuk menjadi wadah
perekonomian rakyat. Dengan demikian, koperasi dan usaha kecil dan menengah
merupakan bagian integral dari sistem ekonomi kerakyatan. Dilihat dari jumlah
unit usaha dan penyerapan tenaga kerja, usaha mikro, kecil, dan menengah
menempati posisi penting dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan
oleh data yang mengindikasikan bahwa jumlah usaha kecil di Indonesia pada 2009
tercatat tidak kurang dari 52 juta orang (99,92%). Jumlah tenaga kerja yang
terlibat dalam usaha kecil tercatat lebih dari 93 juta orang (88,59%). Namun,
kontribusi usaha kecil terhadap kegiatan ekspor masih relatif kecil, yaitu
sebesar 5,38% (Kemenkop dan UKM, 2010). Perbandingan kinerja antara usaha mikro
dan kecil, usaha menengah, dan usaha besar juga dapat dilihat dari nilai tambah
yang dihasilkan untuk setiap sektor industrinya (Tabel 1).
Relatif masih kecilnya sumbangan UKM, termasuk di dalamnya IKM, pada PBD umumnya dan pada nilai ekspornya khususnya disebabkan oleh sejumlah kelemahan yang dimiliki sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja ini. Sebagaimana dilaporkan OECD (2002), kelemahan utama industri kecil dan menengah (IKM) di Indonesia mencakup aspek berikut: (i) orientasi pasar; (ii) kualitas sumberdaya manusia; (iii) penguasaan teknologi; (iv) akses pasar; dan (v) permodalan.
Relatif masih kecilnya sumbangan UKM, termasuk di dalamnya IKM, pada PBD umumnya dan pada nilai ekspornya khususnya disebabkan oleh sejumlah kelemahan yang dimiliki sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja ini. Sebagaimana dilaporkan OECD (2002), kelemahan utama industri kecil dan menengah (IKM) di Indonesia mencakup aspek berikut: (i) orientasi pasar; (ii) kualitas sumberdaya manusia; (iii) penguasaan teknologi; (iv) akses pasar; dan (v) permodalan.
Soetrisno
(2003) menyatakan bahwa koperasi merupakan salah satu pilihan bentuk organisasi
ekonomi dalam menghadapi era globalisasi. Alasannya adalah karena koperasi
sejak kelahirannya disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri
secara bersama-sama yang didasari oleh prinsip “self help and cooperation.”
Sejalan dengan pernyataan di atas, koperasi dipandang memilik peranan strategis
dalam perekonomian Indonesia, antara lain, karena tiga bentuk eksistensi
koperasi (Krisnamurthi, 2002). Ketiga bentuk eksistensi dimaksud, menurut
Krisnamurthi (2002) menyitasi PSP-IPB (199), adalah: (i) koperasi dipandang
sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan
usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat; (ii) koperasi telah menjadi
alternatif bagi lembaga usaha lain; dan (iii) koperasi menjadi organisasi yang
dimiliki oleh anggotanya.
Tentang pentingnya peranan koperasi dalam perekonomian Indonesia, lebih jauh Hariyono (2003) menegaskan bahwa koperasi di Indonesia, yang pendiriannya dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya yakni memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.
Tentang pentingnya peranan koperasi dalam perekonomian Indonesia, lebih jauh Hariyono (2003) menegaskan bahwa koperasi di Indonesia, yang pendiriannya dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya yakni memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.
Dapat
disimpulkan bahwa koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah merupakan
bentuk pengejawantahan ekonomi kerakyatan—sistem perekonomian yang lebih
mementingkat kesejahteraan dan kemakmuran orang banyak bukan orangper orang.
Kedue bentuk organisasi ekonomi ini, selain merupakan konstituen system ekonomi
kerakyatan, juga merupakan bentuk organisasi ekonomi yang cocok bagi
karakteristik bangsa Indonesia yang, menurut Hariyono (2003), lebih bersifat
“homo societas” daripada “homo economicus” yakni lebih mengutamakan hubungan
antarmanusia daripada kepentingan ekonomi atau materi.
Koperasi
dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: Beberapa Kelemahan dan Hambatan Baik
koperasi maupun usaha mikro, kecil, dan menengah, dilihat dari definisi dan
ruang lingkup serta karakteristik anggotanya yakni kecil ruang lingkup usahanya
dan anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan
kemampuan manajerial yang juga terbatas, memiliki sejumlah hambatan dalam upaya
memainkan perannya dalam “kancah” perekonomian nasional.
Kelemahan
yang dimiliki oleh usaha mikro, kecil, dan menengah, erat kaitannya dengan
karakteristik yang dimilikinya. Menurut Afiah (2009), usaha mikro, kecil, dan
menengah secara umum memiliki karakteristik berikut: (i) manajemen berdiri
sendiri, dengan perkataan lain, tidak ada pemisahan yang tegas antara pemilik
dan pengelola perusahaan; (ii) pemilik biasanya juga berperan sebagai
pengelola; (iii) modal umumnya disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok
kecil pemilik modal; (iv) daerah operasinya umumnya lokal, walaupun adanya
sejumlah kecil UMKM yang memiliki orientasi lebih luas bahkan beroreintasi
ekspor; (v) ukuran perusahaan (firm size), baik dari segi total aset, jumlah
karyawan maupun sarana prasarana relatif kecil. Seiring dengan karakteristiknya
yang spesifik tersebut, usaha mikro, kecil, dan menengah memiliki beberapa
kelemahan (weaknesses).
Kelemahan
dimaksud, menurut Afiah (2009) dan Kuncoro (2000) adalah: (i) kekurangmampuan
dalam menangkap peluang pasar yang ada dan dalam memperluas pangsa pasar; (ii)
kekurangmampuan dan keterbatasan dalam mengakses sumber dana (modal) dan
kelemahan dalam struktur permodalan; (iii) rendahnya kemampuan dalam bidang
organisasi dan manajemen sumber daya manusia; (iv) keterbatasan jaringan usaha
kerjasama antarpelaku usaha mikro, kecil, dan menengah; (v) berkaitan dengan
kelamahan butir (v) adalah terciptanya iklim usaha yang kurang kondusif, karena
cenderung berkembang kea rah persaingan yang saling mematikan; (vi) program
pembinaan yang dilakukan masih kurang terpadu; dan (vii) kurangnya kepercayaan
serta kepedulian masyarakat terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah.
Baik
Afiah (2009) maupun Kuncoro (2000) bersepakat bahwa kelemahan-kelemahan yang
bersifat struktural di atas dapat diatasi dan akan menjadi sumber kekuatan,
jika diadakan perbaikan-perbaikan dalam struktur organisasi. Mendukung pendapat
kedua peneliti tersebut, Dipta (2007) dan Kumorotomo (2008) menyatakan bahwa
pemerintah menyadari bahwa upaya pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM) merupakan bagian penting dari upaya mewujudkan bangsa yang
berdaya-saing serta menciptakan embangunan yang merata dan adil. Lebih jauh
Kumorotomo (2008) menjelaskan bahwa langkah pertama dalam upaya mengonversikan
kelemahan menjadi kekuatan adalah dengan mengubah asumsi yang memandang
koperasi dan UMKM sebagai lembaga usaha yang berskala terlalu kecil untuk
diperhatikan, lemah, terbelakang, dan, dengan sendirinya, patut dikasihani.
Oleh karena itu, menurut Dipta (2008), program-program pemberdayaan tidak
dikemas seperti program charity, yang menganggap bahwa anggaran yang
dikeluarkan semata-mata merupakan alokasi dana sosial tanpa upaya untuk
meningkatkan kemandirian dan kedewasaan berpikir para pelaku usaha tersebut.
Tidak
berbeda dengan usaha mikro, kecil, dan menengah, koperasi juga memiliki
sejumlah kelemahan. Tiga di antaranya yang paling menonjol, menurut Partomo
(2004), adalah: (i) modal anggota yang relatif sedikit dan lemah dalam pengelolaannya;
(ii) kualitas sumberdaya manusia yang mengelola koperasi yang relatif rendah
(kemampuan manajemen yang masih rendah); (iii) kurang terjalinnya kerjasama,
baik antar-pengurus, antar-anggota, antara pengurus dan Pengawas maupun antara
pengurus dan anggota; dan (iv) proses pengambilan putusan yang bersifat
demokratis cenderung menghasilkan putusan yang kurang efisien. Berkaitan dengan
keempat kelemahan koperasi di atas, Widiyanto (1996), sebagaimana disitasi oleh
Tambunan (2008), menemukan bahwa pada umumnya koperasi di Indonesia tidak
memiliki daya saing dan dilihat dari posisi bisnisnya sebagian besar koperasi
berada pada posisi “bertahan” dan cenderung ke arah “lemah.” Secara lebih
lengkap karakteristik koperasi di Indonesia disajikan dalam tabel berikut.
5.
Beberapa Alternatif Langkah ke Depan
Bertolak
dari sejumlah kelemahan yang dimiliki baik oleh koperasi maupun usaha mikro,
kecil, dan menengah, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, sejumlah
alternatif langkah dapat ditawarkan untuk mengatasinya. Secara garis besar,
langkah yang perlu diambil untuk lebih memberdayakan koperasi dan usaha mikro,
kecil, dan menengah, menurut Suarja (2007) adalah: (i) revitalisasi peran
koperasi dan perkuatan posisi usaha mikro, kecil, dan menengah dalam system
perkonomian nasional; (ii) memperbaiki akses koperasi dan usaha mikro, kecil,
dan menengah terhadap permodalan, teknologi, informasi, dan pasar serta
memperbaiki iklim usaha; (iii) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
pembangunan; dan (iv) mengembangkan potensi sumberdaya lokal. Secara lebih
teknis, Dipta (2007) menawarkan pendekatan 3C, yakni competition
(persaingan—dalam bentuk system informasi terbuka, sistem legal, model bisnis
yang dinamis, dan penguatan kapasitas pengurus/manajer), cooperation (kerjasama—dalam
bentuk kerjasama selektif, pendidikan dalam penyusunan/perubahan model bisnis,
dan kemitraan dengan public dan perguruan tinggi), dan concentration
(konsentrasi—dalam bentuk spesialisasi produk, penentuan target produk).
Kedua
pendekatan di atas lebih bersifat institusional atau kelembagaan—dalam hal
lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas perkembangan dan pemberdayaan
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah. Dari sisi praktis, langkah yang
perlu diambil dalam upaya memberdayakan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah, harus didasarkan pada kelemahan yang ada. Oleh karena itu,
peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan hal yang pokok baik pada
koperasi maupun maupun usaha mikro, kecil, dan menengah. Program pelatihan dan
pendampingan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah yang bersifat
terpadu dan berkesinambungan merupakan salah satu pilihan terbaik. Namun, perlu
ditekankan di sini bahwa aspek kemandirian harus lebih diutamakan. Artinya,
inisiatif pengadaan atau pelaksanaan program pelatihan dan pendampingan harus
berasal dari pihak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau dari pihak
pengurus dan anggota koperasi.
Langkah
yang dapat dilakukan atau disumbangkan oleh pihak perguruan tinggi untuk
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah bertolak dari fungsi
dan tugasnya yang tercakup dalam tri darma perguruan tinggi: pendidikan;
penelitian; dan pengabdian kepada masyarakat. Melalui ketiga kegiatan tersebut
perguruan tinggi dapat melakukan banyak hal, baik berupa pendidikan (pelatihan
dan pendampingan), penelitian (dalam upaya menganalisis pelbagai aspek tentang
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah) maupun program pengabdian kepada
masyarakat, yang fokus utamanya adalah koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah dengan beragam aspek yang berkaitan dengannya. Dengan pendekatan yang
sistematis semua upaya yang dilakukan akan lebih efektif, efisien, dan
berkesinambungan.
6.
Ekonomi Kerakyatan VS Neoliberalisme
Ekonomi
kerakyatan sangat berbeda dari neoliberalisme. Neoliberalisme, sebagaimana
dikemas oleh ordoliberalisme, adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun
di atas tiga prinsip sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal
adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di
pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3)
pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari
penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang
(Giersch, 1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Sedangkan ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Mencermati perbedaan mencolok antara ekonomi kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut, tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah antitesis dari neoliberalisme. Sebab itu, sebagai saudara kandung neoliberalisme, ekonomi negara kesejahteraan (keynesianisme), juga tidak dapat disamakan dengan ekonomi kerakyatan. Keynesianisme memang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penciptaan kesempatan kerja penuh, namun demikian ia tetap dibangun berdasarkan prinsip persaingan bebas dan pemilikan alat-alat produksi secara pribadi (selengkapnya lihat tabel). Perlu saya tambahkan, ekonomi kerakyatan tidak dapat pula disamakan dengan ekonomi pasar sosial. Sebagaimana dikemukakan Giersch (1961), ekonomi pasar sosial adalah salah satu varian awal dari neoliberalisme yang digagas oleh Alfred Muller-Armack.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Sedangkan ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Mencermati perbedaan mencolok antara ekonomi kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut, tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah antitesis dari neoliberalisme. Sebab itu, sebagai saudara kandung neoliberalisme, ekonomi negara kesejahteraan (keynesianisme), juga tidak dapat disamakan dengan ekonomi kerakyatan. Keynesianisme memang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penciptaan kesempatan kerja penuh, namun demikian ia tetap dibangun berdasarkan prinsip persaingan bebas dan pemilikan alat-alat produksi secara pribadi (selengkapnya lihat tabel). Perlu saya tambahkan, ekonomi kerakyatan tidak dapat pula disamakan dengan ekonomi pasar sosial. Sebagaimana dikemukakan Giersch (1961), ekonomi pasar sosial adalah salah satu varian awal dari neoliberalisme yang digagas oleh Alfred Muller-Armack.
7.
Subversi Neokolonialisme
Pertanyaannya,
bagaimanakah situasi perekonomian Indonesia saat ini? Artinya, sebagai amanat
konstitusi, sejauh manakah ekonomi kerakyatan telah dilaksanakan di Indonesia.
Sebaliknya, benarkah perekonomian Indonesia lebih didominasi oleh pelaksanaan
agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana banyak diperbincangkan belakangan
ini?
Dua hal berikut perlu mendapat perhatian dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, sebagai sebuah negara yang mengalami penjajahan selama 3,5 abad, perekonomian Indonesia tidak dapat mengingkari kenyataan terbangunnya struktur perekonomian yang bercorak kolonial di Indonesia. Sebab itu, ekonomi kerakyatan pertama-tama harus dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengoreksi struktur perekonomian yang bercorak kolonial tersebut. Kedua, liberalisasi bukan hal baru bagi Indonesia, tetapi telah berlangsung sejak era kolonial.
Berangkat dari kedua catatan tersebut, secara singkat dapat saya kemukakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan bukanlah perjuangan yang mudah. Kendala terbesar justru datang dari pihak kolonial. Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pihak kolonial hampir terus menerus mensubversi upaya bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan.
Secara ringkas, subversi-subversi yang dilakukan oleh pihak kolonial untuk mencegah terselenggaranya ekonomi kerakyatan itu adalah sebagai berikut.
Pertama, terjadinya agresi I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah berdirinya NKRI yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Kedua, dipaksanya bangsa Indonesia untuk memenuhi tiga syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Ketiga syarat ekonomi itu adalah: (1) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 milliar gulden; (2) bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF); dan (3) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Dua hal berikut perlu mendapat perhatian dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, sebagai sebuah negara yang mengalami penjajahan selama 3,5 abad, perekonomian Indonesia tidak dapat mengingkari kenyataan terbangunnya struktur perekonomian yang bercorak kolonial di Indonesia. Sebab itu, ekonomi kerakyatan pertama-tama harus dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengoreksi struktur perekonomian yang bercorak kolonial tersebut. Kedua, liberalisasi bukan hal baru bagi Indonesia, tetapi telah berlangsung sejak era kolonial.
Berangkat dari kedua catatan tersebut, secara singkat dapat saya kemukakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan bukanlah perjuangan yang mudah. Kendala terbesar justru datang dari pihak kolonial. Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pihak kolonial hampir terus menerus mensubversi upaya bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan.
Secara ringkas, subversi-subversi yang dilakukan oleh pihak kolonial untuk mencegah terselenggaranya ekonomi kerakyatan itu adalah sebagai berikut.
Pertama, terjadinya agresi I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah berdirinya NKRI yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Kedua, dipaksanya bangsa Indonesia untuk memenuhi tiga syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Ketiga syarat ekonomi itu adalah: (1) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 milliar gulden; (2) bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF); dan (3) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Ketiga,
dilakukannya berbagai tindakan adu domba menyusul dilakukannya tindakan
pembatalan KMB secara sepihak oleh pemerintah Indonesia pada 1956.
Tindakan-tindakan itu antara lain terungkap pada meletusnya peristiwa PRRI/Permesta
pada 1958.
Keempat,
diselundupkannya sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi Indonesia ke AS untuk
mempelajari ilmu ekonomi yang bercorak liberal-kapitalistis sejak 1957. Para
ekonom yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley ini sengaja dipersiapkan
untuk mengambil alih kendali pengelolaan perekonomian Indonesia pasca
penggulingan Soekarno pada 1966.
Kelima, dilakukannya sandiwara politik yang dikenal sebagai proses kudeta merangkak terhadap Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca terbitnya UU No. 16/1965 pada Agustus 1965, yang menolak segala bentuk keterlibatan modal asing di Indonesia.
Keenam, dipaksanya Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum ia secara resmi dilengserkan dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai anggota ADB; (3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia; dan (4) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA)
Kelima, dilakukannya sandiwara politik yang dikenal sebagai proses kudeta merangkak terhadap Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca terbitnya UU No. 16/1965 pada Agustus 1965, yang menolak segala bentuk keterlibatan modal asing di Indonesia.
Keenam, dipaksanya Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum ia secara resmi dilengserkan dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai anggota ADB; (3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia; dan (4) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA)
Ketujuh,
dibangunnya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia sejak 1967.
Melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini, para ekonom “Mafia
Berkeley” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara
sistematis berusaha membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian
Indonesia dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan
pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan
ADB dengan cara mengucurkan utang luar negeri.
Kedelapan, dilakukannya proses liberalisasi besar-besaran sejak 1983, yaitu melalui serangkaian kebijakan yang dikemas dalam paket deregulasi dan debirokratisasi.
Kesembilan, dipaksannya Soeharto untuk menandatangani pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara terinci melalui penandatanganan nota kesepahaman dengan IMF pada 1998, yaitu sebelum ia secara resmi dipaksa untuk mengakhiri kekuasannya melalui sebuah gerakan politik yang dikenal sebagai gerakan reformasi. Perlu diketahui, dalam sejarah perekonomian Inggris, gerakan reformasi serupa dimotori antara lain oleh David Hume, Adam Smith, David Ricardo, Thomas R. Malthus, dan John S. Mill (Giersch,1961).
Kesepuluh, dilakukannya amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Melalui perdebatan yang cukup sengit, ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan. Tetapi kalimat penting yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi,” turut menguap bersama hilangnya penjelasan pasal tersebut.
Menyimak kesepuluh tindakan subversi itu, mudah dipahami bila dalam 64 tahun setelah proklamasi, sistem ekonomi kerakyatan tidak pernah berhasil diselenggaran di Indonesia. Perjalanan perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal dalam beberapa waktu belakangan ini. Bahkan, utang dalam dan luar negeri pemerintah yang pada akhir pemerintahan Soeharto berjumlah US$54 milyar, belakangan membengkak menjadi US$165 milyar.
Perlu diketahui, penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal itu antara lain tertangkap tangan melalui pembatalan seluruh atau beberapa pasal yang terdapat dalam tiga produk perundang-undangan, yang terbukti melanggar konstitusi, sebagai berikut: (1) UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan; (2) UU No. 22/2001tentang Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas); dan (3) UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Kedelapan, dilakukannya proses liberalisasi besar-besaran sejak 1983, yaitu melalui serangkaian kebijakan yang dikemas dalam paket deregulasi dan debirokratisasi.
Kesembilan, dipaksannya Soeharto untuk menandatangani pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara terinci melalui penandatanganan nota kesepahaman dengan IMF pada 1998, yaitu sebelum ia secara resmi dipaksa untuk mengakhiri kekuasannya melalui sebuah gerakan politik yang dikenal sebagai gerakan reformasi. Perlu diketahui, dalam sejarah perekonomian Inggris, gerakan reformasi serupa dimotori antara lain oleh David Hume, Adam Smith, David Ricardo, Thomas R. Malthus, dan John S. Mill (Giersch,1961).
Kesepuluh, dilakukannya amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Melalui perdebatan yang cukup sengit, ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan. Tetapi kalimat penting yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi,” turut menguap bersama hilangnya penjelasan pasal tersebut.
Menyimak kesepuluh tindakan subversi itu, mudah dipahami bila dalam 64 tahun setelah proklamasi, sistem ekonomi kerakyatan tidak pernah berhasil diselenggaran di Indonesia. Perjalanan perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal dalam beberapa waktu belakangan ini. Bahkan, utang dalam dan luar negeri pemerintah yang pada akhir pemerintahan Soeharto berjumlah US$54 milyar, belakangan membengkak menjadi US$165 milyar.
Perlu diketahui, penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal itu antara lain tertangkap tangan melalui pembatalan seluruh atau beberapa pasal yang terdapat dalam tiga produk perundang-undangan, yang terbukti melanggar konstitusi, sebagai berikut: (1) UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan; (2) UU No. 22/2001tentang Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas); dan (3) UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Menyimak
berbagai kenyataan tersebut, dapat disaksikan betapa sangat beratnya tantangan
yang dihadapi bangsa Indonesai dalam melaksanakan amanat konstitusi untuk
mewujudkan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan
era kolonial, tantangan yang ada saat ini justru jauh lebih berat. Pertama,
pihak kolonial sebagai musuh utama ekonomi kerakyatan tidak hadir secara kasat
mata. Kedua, berlangsungnya praktik pembodohan publik secara masif melalui
praktik penggelapan sejarah sejak 1966/1967. Ketiga, terlembaganya sistem “cuci
otak” yang bercorak neoliberal dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua
jenjang pendidikan di Indonesia. Keempat, setelah mengalami proses pembelokan
orientasi pada 1966/1967, keberadaan struktur perekonomian yang bercorak
kolonial di Indonesia cenderung semakin mapan. Kelima, setelah melaksanakan
agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun belakangan ini,
cengkeraman neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia cenderung semakin
dalam.
Walaupun demikian, tidak berarti sama sekali tidak ada harapan. Harapan untuk kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan tersebut setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal sebagai berikut. Pertama, mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS dari beberapa negara di Amerika Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan ini. Yang menonjol diantaranya adalah Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, serta Iran di Asia. Kedua, mulai terlihatnya gejala pergeseran dalam peta geopolotik dunia, yaitu dari yang bercorak unipolar menuju tripolar, sejak munculnya Uni Eropa dan kebangkitan ekonomi Cina. Ketiga, berlangsungnya krisis kapitalisme internasional yang dipicu oleh krisis kapitalisme AS sejak 2007 lalu. Keempat, meningkatnya kerusakan ekologi di Indonesia pasca dilakukannya eksploitasi ugal-ugalan dalam rangka neokolonialisme dan neoliberalisme dalam 40 tahun belakangan ini. Dan kelima, meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian Indonesia.
Pertanyaannya adalah, tindakan jangka pendek, jangka menengah , dan jangka panjang apa sajakah yang perlu dilakukan untuk memastikan berlangsunya suatu proses kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan dimasa datang? Untuk memperoleh jawaban yang akurat, terutama untuk jangka menengah dan jangka panjang, tentu diperlukan suatu pengkajian dan diskusi yang cukup luas. Tetapi untuk jangka pendek, terutama bila dikaitkan dengan akan segera berlangsungnya proses pemilihan presiden pada Juli mendatang, jawabannya mungkin bisa dirumuskan secara lebih sederhana. Dengan mengatakan hal itu tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan sangat tergantung pada siklus lima tahun pergantian kepemimpinan nasional. Ada atau tidak ada pergantian kepemimpinan nasional, perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan harus tetap berlanjut. Namun demikian, siklus pergantian kepemimpinan nasional harus dimanfaatkan secara optimal sebagai momentum strategis untuk mempercepat proses kebangkitan kembali tersebut.
Singkat kata, dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan, adalah kewajiban setiap patriot ekonomi kerakyatan untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih bukanlah pasangan calon pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengamalkan neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada pasangan calon pemimpin yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Walaupun demikian, tidak berarti sama sekali tidak ada harapan. Harapan untuk kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan tersebut setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal sebagai berikut. Pertama, mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS dari beberapa negara di Amerika Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan ini. Yang menonjol diantaranya adalah Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, serta Iran di Asia. Kedua, mulai terlihatnya gejala pergeseran dalam peta geopolotik dunia, yaitu dari yang bercorak unipolar menuju tripolar, sejak munculnya Uni Eropa dan kebangkitan ekonomi Cina. Ketiga, berlangsungnya krisis kapitalisme internasional yang dipicu oleh krisis kapitalisme AS sejak 2007 lalu. Keempat, meningkatnya kerusakan ekologi di Indonesia pasca dilakukannya eksploitasi ugal-ugalan dalam rangka neokolonialisme dan neoliberalisme dalam 40 tahun belakangan ini. Dan kelima, meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian Indonesia.
Pertanyaannya adalah, tindakan jangka pendek, jangka menengah , dan jangka panjang apa sajakah yang perlu dilakukan untuk memastikan berlangsunya suatu proses kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan dimasa datang? Untuk memperoleh jawaban yang akurat, terutama untuk jangka menengah dan jangka panjang, tentu diperlukan suatu pengkajian dan diskusi yang cukup luas. Tetapi untuk jangka pendek, terutama bila dikaitkan dengan akan segera berlangsungnya proses pemilihan presiden pada Juli mendatang, jawabannya mungkin bisa dirumuskan secara lebih sederhana. Dengan mengatakan hal itu tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan sangat tergantung pada siklus lima tahun pergantian kepemimpinan nasional. Ada atau tidak ada pergantian kepemimpinan nasional, perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan harus tetap berlanjut. Namun demikian, siklus pergantian kepemimpinan nasional harus dimanfaatkan secara optimal sebagai momentum strategis untuk mempercepat proses kebangkitan kembali tersebut.
Singkat kata, dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan, adalah kewajiban setiap patriot ekonomi kerakyatan untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih bukanlah pasangan calon pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengamalkan neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada pasangan calon pemimpin yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
8.
Ekonomi Kerakyatan Sebagai Tonggak
Kebangkitan Perekonomian Indonesia
Sistem
Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas
kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan
pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Syarat mutlak berjalannya sistem
ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik,
mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Untuk mencapai
pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup perlu adanya penyegaran
nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan
ekonomi, adanya pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan
multikultural dan adanya pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu
ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
Salah
satu cermin dari sistem ekonomi kerakyatan adalah Koperasi. Koperasi
mengutamakan kesejahteraan bagi anggotanya, hanya saja saat ini eksistensi
Koperasi itu sendiri telah meredup seiring dengan perkembangan di era Pasar
berbas saat ini. Seperti yang kita ketahui bahwa Pakar-pakar ekonomi Indonesia
yang memperoleh pendidikan ilmu ekonomi “Mazhab Amerika”, pulang ke negerinya dengan
penguasaan peralatan teori ekonomi yang abstrak, dan serta merta merumuskan dan
menerapkan kebijakan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan, yang menurut mereka
juga akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa
Indonesia. Keangkuhan dari pakar-pakar ekonomi dan komitmen mereka pada
kebijakan ekonomi gaya Amerika merupakan kemewahan yang tak lagi dapat
ditoleransi Indonesia. Praktek-praktek perilaku yang diajarkan paham ekonomi
yang demikian, dan upaya mempertahankannya berdasarkan pemahaman yang tidak
lengkap dari perekonomian, hukum, dan sejarah bangsa Amerika, mengakibatkan
terjadinya praktek-praktek yang keliru secara intelektual yang harus dibayar
mahal oleh Indonesia.
Pola
pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan sudah harus dibuang, bagaimana
tidak? jika terbukti menyengsarakan rakyat dan menimbulkan ekses ketidakadilan.
Sekarang kita harus beralih pada strategi pembangunan yang dapat dinikmati
seluruh rakyat secara adil dan merata. Strategi yang berbasis pemerataan yang
diikuti pertumbuhan lebih menjamin keberlanjutan pembangunan, dimana dalam
strategi tersebut sangat dibutuhkan adanya keberpihakan pada rakyat artinya
pembangunan harus ditujukan langsung kepada yang memerlukan dan program yang
dirancang harus menyentuh masyarakat serta mengatasi masalah serta sesuai
kebutuhan rakyat, harus mengikutsertakan dan dilaksanakan sendiri oleh rakyat
sehingga bukan lagi kebijaksanaan pembangunan ekonomi dari atas ke bawah ( top
dowm) seperti pada masa Orba malainkan pembangunan alternatif yang bersifat
dari bawah ke atas (buttom up), menciptakan sistem kemitraan yang saling
menguntungkan, menghindari kegiatan eksploitasi keberadaan usaha kecil menengah
dan koperasi untuk kepentingan pengusaha besar. Hal ini perlu ditegaskan karena
kemenangan dalam pergulatan perdagangan pasar bebas tidak akan tercapai tanpa
adanya rasa kebersamaan dan kesatuan di kalangan dunia usaha.
Selain
itu ekonomi kerakyatan akan menciptakan lingkungan dunia usaha yang bersahabat,
ketidak adilan akan terhapus dari benak rakyat, karena kebutuhan pokok mereka
tercukupi, kelompok masyarakat yang secara massal mempunyai daya beli tinggi,
ekonomi rakyat membaik, maka potensi pasar produk-produk industri besar,
menengah dan kecil pun meningkat. Dengan demikian roda perekonomian pun akan
bergulir ke arah normal. Proses industrialisasi sebaiknya dimulai dari daerah
pedesaan berdasarkan potensi unggulan daerah masing-masing dengan orientasi
pasar dan ini sejalan dengan era otonomi daerah yang merupakan realitas mayoritas
penduduk Indonesia dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi setempat.
Berkembangnya kegiatan sosial ekonomi pedesaan akan membuat desa berkembang
menjadi jaringan unggulan perekonomian bangsa yang didukung infra struktur dan
fasilitas lainnya seperti pusat-pusat transaksi (pasar) yang terjalin erat
dengan kota-kota atau pintu gerbang pasar internasional. Jalinan ekonomi desa
dan kota ini harus dijaga secara lestari dan dalam proses ini harus dihindari
penggusuran ekonomi rakyat dengan perluasan industri berskala besar yang
mengambil lahan subur, merusak lingkungan, menguras sumber daya dan mendatangkan
tenaga kerja dari luar.
Dalam
pelaksanaan ekonomi kerakyatan harus benar-benar fokus pada penciptaan kelas
pedagang / wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan tangguh. Untuk
merealisaskannya, pemerintah seharusnya mengalokasikan anggaran yang lebih
besar dan memadai bagi pengembangan usaha kecil dan menengah ini. Inilah peran
yang harus dimainkan pemerintah dalam megentaskan rakyat dari kemiskinan menghadapi
krisis ekonomi. Adanya kemauan politik pemerintah untuk membangkitkan kembali
ekonomi kerakyatan merupakan modal utama bagi bangsa untuk bangkit kembali
menata perekonomian bangsa yang sedang terpuruk ini. Dalam pelaksnaannya
pemerintahan harus diisi oleh orang-orang yang memiliki komitmen kerakyatan
yang kuat karena mereka akan berjuang mengangkat kembali kehidupan rakyat yang
miskin menuju sejahteraan karena kesalahan dalam memilih orang pada
posisi-posisi penting ekonomi akan memperpanjang daftar penderitaan rakyat,
jika mereka tidak memiliki simpati yang ditingkatkan menjadi empati terhadap
denyut nadi kehidupan rakyat dengan menyederhanakan birokrasi dalam berbagai
perizinan, menghapus berbagai pungutan dan retribusi yang mengakibatkan biaya
ekonomi tinggi, menciptakan rasa aman dan sebagainya yang akan menghasilkan
suasana kondusif bagi dunia usaha untuk meningkatkan kinerjanya.
Disisi
lain rakyat sendiri harus mampu mengubah mentalnya dari keinginan menjadi
pegawai menjadi mental usahawan yang mandiri, untuk itu peningkatan sumberdaya
manusia melalui berbagai pendidikan dan pelatihan menjadi penting karena dalam
meningkatkan ekonomi rakyat diperlukan adanya mental wiraswasta yang tangguh
dan mampu bersaing dalam dunia bisnis di era pasar bebas. Sehingga rakyat harus
bisa menciptakan lapangan kerja, bukan mencari kerja. Makin besar dan
berkembang usaha mereka akan makin banyak tenaga kerja tersalurkan. Ini tentu
menjadi sumbangan yang tidak kecil bagi penciptaan lapangan kerja baru dan
pengurangan jumlah pengangguran.
BAB III
Penutup
Ekonomi kerakyatan adalah sistem
ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat, dimana ekonomi rakyat
sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat
kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi
apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut
sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM). Melalui pemberdayaan UMKM, pertumbuhan perekonomian
yang diiringi oleh pemerataan sosial dan ekonomi akan naik. Itu semua merupakan
tanggung jawab yang harus diemban oleh seluruh rakyat Indonesia, demi
tercapainya tujuan yang selama ini diimpikan. Kualitas dari seluruh sumber daya
yang ada, terlebih lagi sumber daya manusia harus ditingkatkan kembali. Dengan
demikian, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang tinggi dan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang juga tinggi diiringi dengan kecilnya kesenjangan sosial yang
selama ini menjadi masalah dalam pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan sosial
pada saatnya akan terwujud
Daftar
Pustaka
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm
http://ayudyafitriamazdaliafa.blogspot.com/2011/09/ekonomi-kerakyatan-sebagai-tonggak.html
http://succesary.wordpress.com/2008/12/10/sistem-ekonomi-kerakyatan/
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sanafri.htm
http://bkcukalimantan.com/index.php/berita-cu/67-ekonomi-kerakyatan-dalam-tatanan-ekonomi-indonesia-peran-koperasi-a-usaha-mikro-kecil-dan-meneng
http://ayudyafitriamazdaliafa.blogspot.com/2011/09/ekonomi-kerakyatan-sebagai-tonggak.html
http://succesary.wordpress.com/2008/12/10/sistem-ekonomi-kerakyatan/
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sanafri.htm
http://bkcukalimantan.com/index.php/berita-cu/67-ekonomi-kerakyatan-dalam-tatanan-ekonomi-indonesia-peran-koperasi-a-usaha-mikro-kecil-dan-meneng